Kisah Legenda Banyuwangi, Tragedi Kesetian Cinta Sri Tanjung pada Patih Sidopekso yang Berujung Petaka Berdarah

Kisah Legenda Banyuwangi, Tragedi Kesetian Cinta Sri Tanjung pada Patih Sidopekso yang Berujung Petaka Berdarah

Travel | BuddyKu | Minggu, 7 Agustus 2022 - 09:12
share

Sri Tanjung yang berwajah rupawan, sangat mencintai dan setia kepada suaminya, Patih Sidopekso. Kisah cinta keduanya, menjadi legenda dan cerita rakyat yang berkembang turun-temurun di masyarakat yang hidup di ujung timur Pulau Jawa.

Dilansir dari banyuwangikab.go.id, Sri Tanjung dan Patih Sidopekso, hidup di masa pemerintahan Prabu Sulahkromo. Patih Sidopekso, merupakan pembantu Prabu Sulahkromo. Patih Sidopekso dikenal sebagai pembantu raja yang gagah berani, arif, dan tampan.

Sementara, istri patih Sidopekso, Sri Tanjung juga dikenal sebagai wanita yang sangat cantik, memiliki kesantunan dalam bersikap dan bertutur, dan tentunya sangat setia kepada suaminya.

Kecantikan Sri Tanjung ini, ternyata membuat Prabu Sulahkromo kepincut dan tergila-gila kepadanya. Nafsu untuk memiliki Sri Tanjung, membuat Prabu Sulahkromo melancarkan kelicikannya, dan melanggar batasan.

Prabu Sulahkromo dengan liciknya memerintah Patih Sidopekso, untuk menjalankan tugas yang mustahil bisa dilaksanakan oleh manusia biasa. Mendapatkan titah dari sang raja, Patih Sidopekso tak pernah menolaknya, dia dengan setia dan gagah berani melaksanakan titah raja.

Saat patihnya pergi menjalankan tugas yang mustahil, Prabu Sulahkromo mendatangi Sri Tanjung untuk melampiaskan nafsu dan menguasai raga istri bawahannya yang sangat cantik jelita itu.

Namun upaya Prabu Sulahkromo membentur batu besar. Sri Tanjung yang cantik jelita, tetap setia kepada suaminya yang sedang pergi bertugas. Cinta Sri Tanjung kepada Patih Sidopekso tak sedikitpun luntur. Dia terus menjaga nyala cinta sejati itu, dan mendoakan suaminya dalam menjalankan tugas.

Sikap keras Sri Tanjung, membuat Prabu Sulahkromo marah besar. Nafsu ragawi yang sedang membakar jiwanya, menjadi kesumat kemarahan. Penolakan cinta yang dilakukan Sri Tanjung, membuat Prabu Sulahkromo kembali melancarkan strategi licik.

Tanpa dinyana, Patih Sidopekso, ternyata berhasil menjalankan misi mustahil yang merupakan akal-akalan dari Prabu Sulahkromo. Saat sang patih menghadapnya, dan melaporkan keberhasilan misi yang ditugaskan, Prabu Sulahkromo justru menebar fitnah kejam.

Prabu Sulahkromo menyampaikan kepada Patih Sidopekso, bahwa Sri Tanjung telah datang ke istana saat ditinggal Patih Sidopekso menjalankan tugas. Sri Tanjung merayu dan berselingkuh dengan raja.

Fitnah Prabu Sulahkromo terhadap Sri Tanjung itu, membuat Patih Sidopekso murka. Dengan penuh amarah Patih Sidopekso menemui Sri Tanjung, dan menyeret istri cantik itu ke tepi sungai, serta mengancam membunuhnya karena telah melanggar kesetiaan cintanya.

Di tepian sungai yang keruh dan kotor itu, Sri Tanjung membantah semua tuduhan perselingkuhan itu. Namun Patih Sidopekso tak dapat menerima penjelasan dari istrinya yang selama ini telah setia dan selalu mendoakannya.

Di tengah pertengkaran itu, Sri Tanjung yang telah menjaga cinta dan kesetiaannya kepada Patih Sidopekso, rela dibunuh suaminya sendiri sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya.

Sri Tanjung menyampaikan permintaan terakhir kepada suaminya, agar jasadnya dibuang ke dalam sungai yang keruh dan kotor itu. Apabila darahnya membuat sungai itu airnya busuk, maka dia telah berbuat serong. Namun, jika darahnya membuat air sungai berbau harum, maka dia tidak bersalah.

Patih Sidopekso yang tak dapat lagi menahan emosinya, langsung menikam tubuh Sri Tanjung yang sangat dicintainya dengan keris saktinya. Jasad Sri Tanjung langsung dimasukkan ke aliran sungai yang kotor dan keruh. Seketika itu juga air sungai berubah menjadi harum dan jernih.

Melihat air sungai jernih seperti kaca, dan beraroma harum. Hati Patih Sidopekso luluhlantak. Dia menangis sejadi-jadinya, lalu tubuhnya terhuyung-huyung dan terjatuh ke sungai. "Banyu...wangi...banyu...wangi...banyu...wangi...," jerit Patih Sidopekso.

Jeritan Patih Sidopekso inilah, yang akhirnya di dengar oleh rakyat dan menamai daerah tersebut dengan Banyuwangi. Banyuwangi, memiliki arti air harum sebagai bukti cinta dan kesetiaan Sri Tanjung yang cantik jelita kepada suaminya.

Terlepas dari legenda rakyat tersebut, Banyuwangi yang dahulu merupakan tanah Blambangan, merupakan daerah yang keramat dan sulit ditundukkan sejak masa Kerajaan Majapahit, Bali, hingga VOC Belanda.

Dalam situs banyuwangikab.go.id disebutkan, para pejuang dari tanah Blambangan, tak henti-hentinya harus bertempur habis-habisan untuk mempertahankan wilayah yang juga memiliki julukan Bumi Osing ini.

Salah satu catatan sejarah itu, menyebutkan pada tanggal 18 Desember 1771 terjadi puncak perang Puputan Bayu menghadapi VOC Belanda. Perang besar dan penghabisan itu, didahului dengan peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger, yang merupakan putra Wong Agung Wilis, ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Sayang peristiwa penyerangan itu, tidak tercatat secara lengkap tanggalnya. Selain itu, ada kesan bahwa dalam penyerangan itu para pejuang Blambangan kalah total, sementara VOC Belanda terkesan tidak menderita kerugian apapun.

Pangeran Puger yang memimpin penyerangan itu gugur. Sedangkan Wong Agung Wilis, tertangkap dan terluka setelah Lateng dihancurkan. Wong Agung Wilis akhirnya dibuang oleh VOC Belanda ke Pulau Banda.

Berdasarkan data sejarah, nama Banyuwangi terkait erat dengan kejayaan Blambangan. Tanah di timur Pulau Jawa ini, dipimpin Pangeran Tawang Alun (1655-1691), dan dilanjutkan oleh Pangeran Danuningrat (1736-1763).

Blambangan juga tercatat pernah berada di bawah perlindungan Bali yakni pada 1763-1767. Selama masa itu, VOC Belanda belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan.

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur, termasuk di dalamnya wilayah Blambangan, diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC Belanda. Kala itu VOC Belanda, merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya, namun belum tertarik untuk mengelolanya.

Siapa sangka, Inggris yang datang ke wilayah tersebut, justru menjalin hubungan dagang dengan Blambangan. Tak hanya itu, Inggris juga mendirikan kantor dagangnya pada tahun 1766 di wilayah yang kini dikenal dengan sebutan Kompleks Inggrisan.

Di wilayah tempat pendirian kantor dagang Inggris tersebut, terdapat bandar kecil Banyuwangi. Kala itu, bandar kecil tersebut dikenal dengan nama Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum.

Melihat kehadiran Inggris yang menjalin hubungan dagang dengan Banyuwangi, VOC Belanda bergerak untuk segera merebut Banyuwangi, dan mengamankan seluruh Blambangan. Peperangan di tanah Blambangan itu terjadi selama lima tahun, yakni pada tahun 1767-1772.

Perusahaan dagang milik Belanda tersebut, berupaya merebut seluruh wilayah Blambangan, utamanya Banyuwangi, yang kala itu dikuasai perusahaan dagang Inggris, dan berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan.

Perang maha dahsyat, yang disebut perang Puputan Bayu itu meletus pada 18 Desember 1771. Perang Puputan Bayu ini, menjadi bagian dari proses lahirnya Banyuwangi, dan hingga kini diperingati sebagai hari jadi Banyuwangi.

(eyt)

Topik Menarik