Intoleransi Sukabumi, Penangguhan Penahanan Tersangka Tuai Protes: Bisa Timbulkan Trauma Psikologis

Intoleransi Sukabumi, Penangguhan Penahanan Tersangka Tuai Protes: Bisa Timbulkan Trauma Psikologis

Terkini | inews | Minggu, 6 Juli 2025 - 00:14
share

JAKARTA, iNews.id -  Kasus intoleran di Sukabumi, Jawa Barat, yang melibatkan aksi pembubaran dan perusakan kegiatan retreat remaja Kristen di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, menyedot perhatian publik nasional. Peristiwa ini menyulut kecaman dari berbagai tokoh lintas sektor yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerukunan beragama dan hak asasi manusia.

Polemik ini semakin meluas setelah Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan penangguhan penahanan terhadap tujuh tersangka pelaku persekusi. Langkah ini dinilai sejumlah pihak sebagai bentuk keberpihakan terhadap pelaku, dan bisa berbahaya jika menjadi preseden bagi tindakan intoleransi serupa di masa mendatang.

Kasus Intoleransi Sukabumi

Hotman Paris Menolak Penangguhan Penahanan

Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea menolak keras langkah Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengusulkan penangguhan penahanan tujuh tersangka kasus intoleransi di Sukabumi. Dia secara tegas meminta Menteri HAM tidak membela pelaku perusakan tempat ibadah.

"Halo Bapak Menteri HAM, jangan sampai ada penangguhan terhadap tujuh tersangka pengrusakan di Sukabumi," kata Hotman di Jakarta Utara, Jumat (4/7/2025).
"Bapak itu diangkat jadi Menteri HAM adalah untuk menangkap orang-orang yang melanggar HAM, jangan Bapak coba-coba melakukan penangguhan penahanan," ujarnya.
"Karena ini bisa terjadi terhadap semua agama, bukan hanya agama Kristen. Jadi sekali lagi pada Bapak Menteri HAM, jangan Bapak bantu untuk penangguhan," ucap Hotman.

Sebelumnya, Kementerian HAM melalui Staf Khusus Menteri HAM Thomas Harming Suwarta dan Stanislaus Wena mengusulkan agar penahanan terhadap tujuh tersangka ditangguhkan sebagai bagian dari pendekatan restorative justice. KemenHAM bahkan menyatakan siap menjamin para tersangka dalam proses penangguhan.
Pertemuan antara KemenHAM dan unsur Forkompimda Kabupaten Sukabumi, termasuk tokoh lintas agama, dilakukan di Pendopo Kabupaten Sukabumi, Kamis (3/7/2025). Dalam pernyataannya, KemenHAM menyebut bahwa pendekatan keadilan restoratif diperlukan untuk menjaga kerukunan dan kedamaian.

Penangguhan Tersangka oleh KemenHAM Berpotensi Timbulkan Trauma Anak

Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Marinus Gea menilai tindakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenham), yang menangguhkan penahanan tujuh tersangka persekusi retret remaja Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat itu dapat menimbulkan trauma psikologi kepada generasi bangsa.

“Ini sikap dan tindakan Kementerian HAM ini menimbulkan moral hazard bagi generasi, yaa nanti pernyataannya kan, kalau rame-rame kan pasti akan dicarikan jalan keluar, jalan damai, tidak perlu dilakukan penegakan hukum, dan menimbulkan trauma psikologis kepada generasi-generasi masa datang,” kata Marinus Gea dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/7/2025).
“Tindakan ini harusnya Kementerian HAM melihat bahwa menimbulkan kesan psikologis, trauma masa depan bagi anak-anak ini, yang seolah-olah mengajarkan, memberikan perlindungan kepada pelaku-pelaku intoleran yang dicontohkan pada peristiwa Cidahu itu. Saya sebagai Komisi XIII, kita akan pertanyakan ini nanti dalam Rapat Kerja Komisi XIII dengan Kementerian Hak Asasi Manusia. Jangan-jangan ini Kementerian HAM tidak tahu apa yang menjadi Tupoksinya, sehingga harus mengambil posisi, porsi institusi lain,” ucapnya.

“Atau, kalau yang namanya penangguhan-penahanan itu, kalau menurut hukum kan, hanya cukup diberikan oleh keluarga, diberikan oleh orang-orang tertentu yang sudah diatur dalam hukum. Jadi, tidak ada pentingnya gitu Kementerian Hak Asasi Manusia untuk turut serta di situ. Artinya, ada seolah-olah ini Kementerian HAM menunjukkan ada keberpihakan yang tidak berdiri adil bagi semua sebagai penjaga hak asasi manusia di Indonesia,” tambahnya.

MUI Kecam Tindakan Anarkis

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis kecewa atas insiden perusakan rumah warga yang diduga digunakan sebagai tempat ibadah di Sukabumi, Jawa Barat. Ia menilai tindakan tersebut merupakan bentuk anarkisme dan tidak dapat dibenarkan secara hukum.

“Kami berharap masyarakat tidak melakukan penegakan hukum sendiri, karena sudah ada penegak hukum. Kita mencegah kemungkaran dengan cara mungkar, jangan sampai kita menimbulkan kemungkaran yang lebih besar,” tegas Kiai Cholil di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
Ia pun berharap aparat kepolisian segera menindaklanjuti laporan tersebut agar masyarakat tidak terdorong untuk mengambil tindakan sepihak yang justru bisa memperkeruh suasana.

“Kami berharap semuanya dikembalikan kepada hukum, mohon dipermudah untuk mendirikan rumah ibadah masing-masing dan bisa beribadah dengan sebaik-baiknya,” tambahnya.
Kiai Cholil juga mengingatkan agar tempat-tempat tidak disalahgunakan, serta menyerukan pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama dengan saling menghargai keyakinan masing-masing.

“Agama dan keyakinan dijamin oleh pemerintah. Mereka juga ada aturannya untuk menggunakan tempat-tempat ibadah,” tandasnya.
Terakhir, Kiai Cholil menegaskan pentingnya penanganan cepat dari aparat kepolisian agar emosi masyarakat tidak meluap dan bisa diarahkan pada jalur hukum yang benar.

Kronologi Kejadian: Video Viral dan Massa Merusak Vila

Insiden ini menjadi sorotan publik setelah beredar video viral yang memperlihatkan massa membubarkan kegiatan retreat keagamaan yang diikuti oleh anak-anak dan remaja Kristen. Dalam rekaman tersebut, tampak warga mencopot salib dari dinding, melempari batu, serta merusak fasilitas vila, meskipun aparat TNI dan Polri sudah berada di lokasi.
Salah satu korban perempuan yang terekam dalam video menjelaskan bahwa kegiatan tersebut hanyalah retreat pelajar Kristen saat liburan sekolah, dan tempat yang digunakan bukan gereja, melainkan vila pribadi.

“Kami sedang mengadakan retreat liburan sekolah untuk anak-anak. Tempatnya vila pribadi, bukan gereja. Tapi tiba-tiba warga datang dan melempar batu. Anak-anak panik, trauma, kami dipaksa keluar, mobil kami juga dipukul dan dilempari,” ujar korban dalam video yang viral di media sosial.

Fakta lain turut disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sukabumi dan Kesbangpol yang mengklarifikasi bahwa bangunan tersebut bukan tempat ibadah, melainkan rumah tinggal. Mereka menyebut peristiwa ini telah diselesaikan secara kekeluargaan, dan warga bersedia mengganti kerusakan yang terjadi.

“Saya pertegas, itu bukan gereja atau tempat ibadah. Itu rumah tempat tinggal. Isu ini harus diluruskan,” tegas Kepala Kesbangpol, Tri Romadhono Suwardianto.
Diketahui, peristiwa dugaan intoleransi yang berakhir dengan perusakan sebuah rumah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, bermula dari adanya aktivitas keagamaan di vila milik Maria Veronica Nina. Di vila yang tidak dihuni secara tetap oleh Nina (70), namun kerap digunakan saat liburan atau menerima keluarga, diketahui terdapat simbol salib besar yang terpasang di taman belakang.

Menurut informasi dari warga sekitar, kegiatan ibadah mulai terpantau sejak 17 Februari 2025 dan dipelopori oleh Weddy, adik dari pemilik vila. Sejak saat itu, aktivitas keagamaan rutin dilakukan di lokasi tersebut tanpa ada pemberitahuan resmi kepada pihak lingkungan setempat atau otoritas desa. Keadaan ini kemudian memicu ketegangan yang berujung pada aksi massa dan perusakan bangunan.

Topik Menarik