Menperin Beberkan Dampak Perang Iran-Israel terhadap Industri dalam Negeri
IDXCHannel - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita membeberkan dampak perang antara Iran dengan Israel terhadap industri dalam negeri. Konflik kedua negara tersebut telah memicu gangguan signifikan di pasar global.
Hal itu akan membuat sektor manufaktur menghadapi risiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik dan pelemahan permintaan ekspor.
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, dan gangguan rantai pasok bahan baku.
Dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di sektor energi. Peran Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama yang menyumbang hampir 30 persen produksi global telah membuat pasar waspada.
Melihat kondisi itu, Menperin menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri, terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi.
"Mitigasi juga dibutuhkan mengantisipasi gangguan pada rantai pasok global terutama pada bahan baku industri karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati timur tengah yang sedang dilanda konflik terbuka saat ini," katanya di Jakarta, Selasa (17/6).
Tidak hanya itu, Menperin juga mengingatkan industri manufaktur juga memitigasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang yang berakibat terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri.
Menurutnya, energi bagi industri adalah sesuatu yang vital, tidak hanya sebagai sumber energi produksi, tetapi juga sebagai bahan baku dalam proses produksi.
“Karena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien dalam penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kemenperin mendorong pelaku industri untuk tidak hanya menggunakan energi secara efisien, tetapi juga mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi.
Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan.
“Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” tambah Agus.
Selain itu, Kemenperin juga mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional, seperti mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.
Di sektor pangan, Agus juga menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global. Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Ketiga faktor ini logistik, inflasi, dan nilai tukar secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri," ujarnya.
"Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” tuturnya.
Agus menegaskan, industri manufaktur nasional tidak hanya akan difokuskan hilirisasi sektor agro untuk menghasilkan produk pangan, tetapi juga diarahkan untuk berperan aktif berinovasi menemukan teknologi produksi pangan lebih efisien sehingga menciptakan nilai tambah lebih tinggi didalam negeri.
Menperin juga menghimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan fasilitas LCS (Local Currency Settlement) menghadapi inflasi dalam input produksi.
Industri dapat memanfaatkan fasilitas BI (Bank Indonesia) tersebut guna mengantisipasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama pada negara-negara yang telah menandatatangi LCS dengan Indonesia.