Pengamat: Industri Otomotif Alami Resesi, Butuh Insentif
IDXChannel - LPEM UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia) mengatakan industri mobil di tanah air sedang mengalami resesi. Hal itu terjadi lantaran penjualan turun dalam dua tahun beruntun.
Peneliti LPEM UI Riyanto menjelaskan penjualan mobil di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun belangkangan mengalami penurunan di bawah 1 juta unit. Pada 2022, penjualan mobil sempat tembus 1 juta unit karena ada insentif selama pandemi covid-19, namun setelah itu terus turun sampai sekarang.
"Kalau di ekonomi dua triwulan berturut-turut kondisi ekonomi turun disebut resesi, Industri otomotif sudah dua tahun (2023 dan 2024) malah turun. Industri otomotif sebenarnya mengalami resesi kalau menggunakan definisi itu,” katanya dalam diskusi bertema Menakar Efektivitas Insentif Otomotif di Gedung Kementerian Perindustrian Jakarta, Senin (19/5/2025)
Riyanto mengatakan salah satu yang membuat resesi penjualan mobil adalah struktur pajak untuk kendaraan bermotor yang terlalu banyak di negeri. Misalnya saja ada PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah), BBNKB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), PKB (Pajak Kendaraan Bermotor), PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan lainnya.
Menurutnya, perlu dipikirkan mengenai pengurangan struktur pajak mobil baru secara permanen. Jika tidak, perlu ada insentif pajak untuk mengurangi harga jualnya.
“Jadi, ibaratnya industri mobil sudah jatuh tertimpa tangga. Oleh sebab itu, industri mobil yang stagnan membutuhkan insentif,” katanya.
Riyanto menyatakan pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan berbasis baterai battery electric vehicle (BEV) yang mendapatkan insentif 57 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak.
Oleh sebab itu, Ia menilai, sudah waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) ke ke mobil internal combustion engine (ICE), Low Cost Green Car (LCGC) dan hybrid dengan patokan emisi.
Dia optimistis, efek insentif LCGC, HEV, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV. Saat ini, BEV menghadapi tantangan berupa kecemasan jarak tempuh dan keterbatasan infrastruktur SPKLU.
Hal ini, kata dia, membuat BEV lebih diburu pemilik mobil kedua dan ketiga, bukan mobil pertama. Sebaliknya, mobil ICE, LCGC, dan HEV berpeluang menjadi mobil pertama, karena tak menghadapi tantangan tersebut.
“Dalam jangka pendek, perlu kebijakan fiskal seperti saat pandemi, entah itu diskon PPN atau PPnBM untuk menyelamatkan industri dari krisis. Hal yang penting adalah harga kendaraan turun,” ungkap dia.
Dalam jangka panjang, dia menyatakan, pemerintah perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara. Intinya, jangan sampai industri dan masyarakat terbebani pajak yang kini 40 persen lebih.
Dia menilai, mestinya pemerintah tak perlu takut rugi ketika memberikan pajak ke industri mobil. Sebab, dampak ekonomi insentif ini sangat besar.
Hitungan Riyanto, pemberian insentif PPnBM 0 persen dapat menyumbangkan PDB 0,8 persen dan tambahan tenega kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier) 47 ribu orang.
Sementara itu, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyatakan, pihaknya mendukung pemberian insentif pajak mobil, karena bisa menjadi obat mujarab untuk menaikkan penjualan mobil dalam jangka pendek.
Dia mengakui, saat memberikan insentif, penerimana negara bisa berkurang. Tetapi, ini akan ternormalisasi, begitu pasar mobil pulih.
“Kami tidak minta utang atau subsidi, melainkan penundaan penyetoran pajak pada periode tertentu. Begitu ekonomi bangkit, penerimaan pemerintah akan kembali,” kata dia.
Dia menyatakan, Gaikindo juga menyerukan evaluasi kebijakan insentif otomotif yang bisa berdampak jangka panjang dan memastikan target yang dicanangkan tercapai.
Dikesempatan yang sama, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Mahardi Tunggul Wicaksono menegaskan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era elektrifikasi melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal.
Kemenperin telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target net zero emission (NZE) nasional.
Salah satu instrumen kunci, kata dia, adalah penguatan regulasi yang mewajibkan pemenuhan local purchase dan/atau TKDN dalam proses produksi kendaraan bermotor.
“Melalui regulatory framework yang telah disusun, industri KBM yang memenuhi ketentuan local purchase dan TKDN dapat memperoleh insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Ini menjadi langkah strategis dalam menciptakan industri otomotif yang mandiri dan berdaya saing,” ujar dia.
Sebagai bentuk dukungan konkret, dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan program insentif perpajakan bagi perusahaan yang menunjukkan komitmen investasi di Indonesia.
Bentuk insentif tersebut meliputi pembebasan BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CBU, insentif BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CKD (completely knocked down) dengan TKDN yang masih berada di bawah ketentuan roadmap, guna mendorong percepatan realisasi investasi sambil menjaga kelangsungan industri lokal.
Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.
Tunggul menegaskan, insentif-insentif ini merupakan stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi, dari hulu ke hilir.
“Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” kata dia.