Peningkatan Konsumsi Gas Harus Dibarengi Pembangunan Infrastrutur Pendukung

Peningkatan Konsumsi Gas Harus Dibarengi Pembangunan Infrastrutur Pendukung

Terkini | idxchannel | Sabtu, 17 Mei 2025 - 13:54
share

IDXChannel - Konsumsi gas bumi dipastikan terus meningkat seiring dengan strategi transisi energi yang diusung pemerintah. Gas bumi diyakini menjadi sumber energi primer yang dibutuhkan dalam proses peralihan dari fosil menuju energi terbarukan.

Kontribusi gas bumi bakal semakin meningkat sejalan dengan temuan cadangan minyak dan gas (migas) yang dalam beberapa tahun terakhir didominasi gas. Sehingga, sektor gas diproyeksikan bisa mendukung program Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang berambisi merealisasikan swasembada energi dalam beberapa tahun ke depan.

Namun, pada realisasinya terjadi kesenjangan cukup besar dalam hal pasokan dan permintaan. Ini karena lokasi atau sumber-sumber lapangan gas didominasi di wilayah timur, sementara permintaan terhadap gas justru tertinggi dari wilayah Jawa dan Sumatera. 

Sehingga, pemerintah harus menyiapkan opsi berbagai metode penyaluran baik berupa gas pipa maupun dengan beyond pipeline seperti liquefied natural gas (LNG).

Vice President Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Ufo Budiarius Anwar mengungkapkan, dalam beberapa tahun ke belakang dan ke depan, temuan gas memang cukup besar.

"Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia jadi bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di Jawa dan Sumatera," kata Ufo dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Berdasarkan data SKK Migas pada 2024 rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD dengan persentase pemanfaatan gas bumi sektar 60 persen lebih diperuntukan untuk kebutuhan domestik. Dari jumlah tesebut, porsi untuk industri 26,24 persen, kemudian pupuk dan kelistrikan masing-masing 12,3 persen dan 12,51 persen.

Sementara sisanya ada untuk LNG domestik 12,39 persen untuk lifting minyak 3,73 persen untuk LPG 1,37 persen, serta BBG dan jaringan gas sebesar masing-masing 0,13 persen dan 0,22 persen.

Porsi ekspor persentasenya sebesar 24,17 persen berupa LNG serta ekspor gas pipa ke Singapura sebanyak 6,95 persen.

Ufo menuturkan, dengan kondisi banyaknya gas yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik maka dipastikan bahwa gas merupakan lokomotif penggerak ekonomi energi di Indonesia. Untuk itu, perlu ada dorongan serius untuk bisa mengakomodasi peningkatan permintaan gas dalam negeri.

"Gas itu lokomotif energi Indonesia sangat cocok dengan transisi energi. Masalahnya ya infrastruktur tadi. Gas paling banyak digunakan paling besar kelistrikan, pupuk. Ada city gas, jaringan gas itu adalah potensi untuk mengurangi LPG impor," kata Ufo.

Data SKK Migas menunjukkan, kebutuhan (total demand) gas nasional mengalami tren peningkatan moderat dari 2025 sebesar 5.613 MMSCFD hingga mencapai 6.229 MMSCFD pada 2033 dan 5.751 MMSCFD pada 2035.

Selama periode 2025-2035, dilihat dari strukturnya, kebutuhan gas bumi nasional menunjukkan pola yang relatif sama. Sektor kelistrikan, pupuk, dan industri manufaktur akan tetap menjadi pengguna utama, yang memerlukan jaminan pasokan berkelanjutan.

Meskipun pasokan gas secara kumulatif masih berada dalam kondisi surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai wilayah telah menunjukkan kecenderungan yang semakin lebar.

Untuk tahun ini saja masalah pasokan gas cukup dirasakan. Pemerintah memutuskan untuk melalukan swap gas pipa yang diekspor ke Singapura menjadi LNG. Ini membuat kebutuhan gas sampai Juni tahun ini sudah tercukupi.

Pemerintah melakukan Swap Gas sebesar 25 BBTUD dari Natuna untuk kebutuhan domestik, khususnya wilayah Batam. Strategi ini efektif rencana dimulai pada 1 Juni 2025.

SKK Migas juga merilis informasi tentang pengalihan ekspor LNG. Kebutuhan LNG domestik hingga Juni 2025 telah terpenuhi dengan total tambahan pasokan LNG domestik periode Januari-Juni 2025 sekitar 18 kargo. Kemudian Periode Juli–Desesember 2025 akan dilakukan upaya pengalihan/rescheduling kargo ekspor up to 30 kargo untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Sampai Juni 2025 kita aman, setelah itu kita coba otak-atik mulai dari penjadwalan pengiriman LNG, hingga meminta PLN dan PGN untuk menghitung lagi kebutuhan gasnya," kata Ufo.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua XII DPR Sugeng Suparwoto mengatakan, infrastuktur dasar memang harus bisa disiapkan pemerintah. Tanpa infrastruktur dasar yang memadai maka akan ada peningkatan biaya yang ujungnya akan berdampak pada harga gas.

"Kita enggak mempunyai infrastruktur dengan pipa. Ada tambahan ongkos kalau bukan pipa (LNG)," kata Sugeng.

Menurut Sugeng, keterlibatan pemerintah menjadi kunci untuk bisa menguatkan sektor gas bumi Indonesia. Dia mencontohkan, pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih oleh negara setelah gagal dibangun dulu oleh Rekind dan Bakrie Grup.

"Nanti dari ujung Aceh sampai Jawa Timur pipa tersambung Jawa dan Sumatera. Jadi seperti Arun akan menjadi receiving terminal storage baru alirkannya melalui pipa dan itu bisa murah," kata Sugeng.

(Dhera Arizona)

Topik Menarik