Paradoks Sistem PBB dan Keberadaan Taiwan

Paradoks Sistem PBB dan Keberadaan Taiwan

Terkini | inews | Minggu, 29 September 2024 - 10:41
share

John Chen
Representative, Taipei Economic and Trade Office (TETO)

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) menggelar Sidang Majelis Umum ke-79 di markas besar New York, Amerika Serikat. Sidang kali ini bertema "Unity in diversity, for the advancement of peace, sustainable development and human dignity for everyone everywhere" (Kesatuan dalam keberagaman, untuk memajukan perdamaian, pembangunan berkelanjutan, dan martabat masyarakat di seluruh dunia).

Namun, sangat disayangkan bahwa 23,5 juta penduduk Taiwan masih dikecualikan dari sistem PBB. Sistem PBB tidak hanya mencegah pemerintah Taiwan untuk menghadiri pertemuan dan acara PBB, tetapi juga melarang pemegang paspor Taiwan, serta media dan jurnalis Taiwan untuk masuk ke lingkungan dan kawasan PBB. Mereka juga dilarang meliput pertemuan dan acara terkait. Hal ini sangat berlawanan dengan tema dari Sidang Majelis Umum PBB.

Pada sidang Majelis Umum PBB tahun ini, Sekretaris Jenderal Majelis Umum PBB Philemon Yang menyerukan bahwa negara-negara anggota PBB harus memperkuat kerja sama internasional untuk menghadapi serangkaian tantangan global seperti perubahan iklim dan eskalasi konflik regional. Namun, di sisi lain China semakin provokatif di Laut China Timur, Laut China Selatan dan Selat Taiwan.

China dengan sengaja mendistorsi Resolusi 2758 Majelis Umum PBB yang disahkan tahun 1971 untuk menyangkal status yang layak bagi Taiwan. China juga dengan sengaja mengaitkan resolusi tersebut dengan Prinsip Satu China untuk menekan hak sah Taiwan dalam berpartisipasi secara bermakna di PBB dan badan-badan khusus PBB.

Resolusi 2758 Majelis Umum PBB tidak menyebutkan Taiwan pada keseluruhan teks, juga tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari China, apalagi mengesahkan China untuk mewakili Taiwan di PBB. Karena itu, resolusi tersebut tidak ada hubungan dengan Taiwan.

China terus memperluas niat buruk dengan menyalahartikan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB untuk menekan partisipasi Taiwan dalam berbagai platform internasional. Di berbagai kesempatan, China menyebarkan narasi palsu bahwa resolusi tersebut merupakan dasar hukum kedaulatan Beijing atas Taiwan, yang faktanya sangat bertentangan.

Saat ini, semakin banyak negara yang menyampaikan kritik mereka terhadap interpretasi China yang menyimpang terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB. Di antaranya pada laporan implementasi tahunan Common Foreign and Security Policy Uni Eropa yang disahkan bulan Februari 2024 menegaskan bahwa Taiwan dan China tidak saling membawahi satu sama lain. Dan hanya Pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili rakyat Taiwan secara internasional.

Pada April 2024, Mark Baxter Lambert, Deputi Asisten Sekretaris, Biro Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), menjelaskan posisi AS terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB di German Marshall Fund, sebuah lembaga think-tank di Washington DC. Isinya resolusi tersebut tidak mendukung, tidak setara, dan tidak mencerminkan konsensus China terhadap Prinsip Satu China.

Pada 30 Juli 2024, Aliansi Antar-Parlemen untuk China (IPAC) yang terdiri dari lebih 250 anggota parlemen dari 38 negara di seluruh dunia dan Uni Eropa mengesahkan Model Resolusi IPAC terhadap Resolusi 2758 Majelis Umum PBB menunjukkan dukungan nyata untuk Taiwan.

Senat Parlemen Australia dan Dewan Perwakilan Rakyat Parlemen Belanda baru-baru ini juga mengeluarkan mosi yang menyatakan bahwa Resolusi 2758 Majelis Umum PBB tidak menetapkan kedaulatan Tiongkok atas Taiwan. Mereka juga tidak mempunyai kualifikasi untuk mengecualikan partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional.

Republik China (Taiwan) adalah negara yang berdaulat, merdeka dan tidak berafiliasi dengan Republik Rakyat China. Hanya pemerintah yang dipilih rakyat Taiwan dapat mewakili 23,5 juta penduduk Taiwan di dunia internasional. Republik Rakyat China tidak pernah memerintah Taiwan. Dan Taiwan jelas bukan bagian dari Republik Rakyat China.

Hal ini merupakan status quo Selat Taiwan saat ini dan juga merupakan fakta objektif yang diakui secara internasional. Upaya Beijing untuk memaksakan Prinsip Satu Tiongkok kepada negara-negara lain dan organisasi internasional telah melanggar kemerdekaan politik negara lain dan hanya akan meningkatkan antipati rakyat Taiwan dan komunitas internasional terhadap perilaku intimidasi dan tirani dari Tiongkok.

Dengan menggunakan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB sebagai senjata, Beijing terus menyebarluaskan narasi palsu bahwa Taiwan adalah bagian dari China demi membangun dasar hukum menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan di masa depan. Dalam beberapa tahun terakhir, China secara sepihak menyatakan bahwa Selat Taiwan dan perairan 10 mil di lepas pantai timur Taiwan akan ditetapkan sebagai laut teritorial Tiongkok.

Kemudian, China mengabaikan risiko keselamatan penerbangan regional dan secara sepihak mengumumkan perubahan rute penerbangan M503, W122 dan W123. Ditambah lagi baru-baru ini China mengumumkan Coast Guard Law yang memungkinkan personelnya untuk memasuki perairan yang disengketakan dan naik serta memeriksa kapal dengan maksud memperkuat klaim teritorial palsu dan memperluas pengaruh China.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan bahwa Beijing berupaya mengubah status quo secara sepihak di Selat Taiwan, memperluas otoritarianisme di kawasan Indo-Pasifik, dan merupakan ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan global.

Taiwan adalah mitra dagang dan ekonomi penting yang memainkan peran krusial dalam rantai pasokan global. Taiwan memiliki klaster industri semikonduktor terlengkap di dunia yang memproduksi lebih dari 60 persen chip dan 92 persen chip tercanggih bagi kebutuhan global.

Apabila China menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan, diperkirakan akan menyebabkan kerugian ekonomi global yang sangat besar yaitu lebih dari 10 triliun dolar AS atau sekitar 10 persen dari total GDP global. Skala kerugian yang lebih besar dari perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Selat Taiwan adalah jalur penting transportasi laut dan transportasi udara global. Lebih dari 40 persen kargo maritim global melewati Selat Taiwan. Setiap tahun, sekitar 2 juta penerbangan dan 72 juta penumpang lepas landas, mendarat dan transfer di Taipei Flight Information Region (Taipei FIR) yang berada di bawah tanggung jawab Taiwan.

Selain itu, jumlah warga negara asing dari Asia Tenggara yang saat ini tinggal di Taiwan melebihi 1 juta orang. Termasuk di antaranya sekitar 400.000 orang warga negara Indonesia.

Jika China menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan, maka akan merugikan masyarakat di seluruh dunia. Terutama akan sulit menjamin keselamatan 400.000 orang warga negara Indonesia yang berada di Taiwan. Pada saat yang sama, hal ini akan berdampak serius pada arus transportasi laut, transportasi udara dan perdagangan di kawasan Indo-Pasifik dan global.

Piagam PBB dengan jelas menetapkan bahwa tujuan utama PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia, dan menekankan bahwa konflik internasional harus diselesaikan dengan cara damai. Negara-negara anggota PBB harus menghindari penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menegakkan semangat Piagam PBB dan memelihara tatanan internasional yang berbasis aturan.

Pada 23 Mei, Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric menyoroti hal ini dengan mengatakan bahwa semua negara anggota PBB mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga moral dan martabat yang tercantum di Piagam PBB. Mengenai China dan Selat Taiwan, ia mendesak pihak-pihak terkait untuk menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan di kawasan.

Saya dengan ini menyerukan kepada PBB agar dapat proaktif dalam mengambil tindakan dan menghadapi niat buruk Tiongkok yang telah menyalahartikan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB. Hal ini menjadi ancaman serius bagi status quo di Selat Taiwan serta perdamaian dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.

Saya juga menyerukan kepada Sekretariat PBB untuk menegakkan netralitas, berhenti secara keliru menerapkan Resolusi 2758 Majelis Umum PBB, dan berhenti merampas hak rakyat dan media Taiwan untuk mengunjungi, menghadiri atau meliput pertemuan dan acara PBB.

Praktik diskriminatif sekretariat PBB telah secara serius melanggar Pasal 2 Ayat 1 Piagam PBB mengenai tujuan PBB yaitu penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dan prinsip-prinsip lain yang dianut oleh PBB termasuk inklusivitas dan universalitas.

Sistem PBB didirikan untuk memajukan kepentingan publik dan melayani masyarakat di seluruh dunia. Oleh karena itu, akses ke PBB seharusnya menjadi hak semua orang, bukan hanya karena pertimbangan politik kemudian mengabaikan hak asasi manusia dari rakyat Taiwan.

Kami menyerukan kepada sekretariat PBB untuk segera mengakhiri kebijakan diskriminatif terhadap rakyat Taiwan dan mencari cara yang tepat untuk mengakomodasi partisipasi Taiwan guna berkontribusi dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Usaha keras Taiwan selama beberapa dekade telah membuktikan kepada komunitas internasional bahwa Taiwan adalah anggota internasional yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta mitra yang sangat krusial dan sebuah kekuatan untuk kebaikan. Oleh karena itu, dengan memasukkan Taiwan ke dalam sistem PBB akan memungkinkan komunitas internasional secara keseluruhan mendapat manfaat dari Taiwan.

Tema sidang Majelis Umum PBB tahun ini adalah tidak meninggalkan siapa pun, yang juga merupakan komitmen inti Agenda Pembangunan Berkelanjutan tahun 2030.
Sangat penting bagi Taiwan untuk dimasukkan ke dalam sistem PBB demi menjamin tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tahun 2030.

Sekali lagi saya menyerukan kepada teman-teman dari seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk terus mendukung partisipasi Taiwan dalam sistem PBB. Hanya dengan menerima partisipasi penuh Taiwan kita dapat menciptakan dunia yang damai, berkelanjutan, dan indah yang menghargai martabat manusia di generasi sekarang dan yang akan datang.

Topik Menarik