Asal-usul Coban Jahe dan Kisah Kelam Pembantaian Pejuang Gerilya oleh BelandaÂ
DI BALIK keindahannya, Coban Jahe ternyata memiliki sejarah kelam di masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Ya, Coban Jahe menyimpan cerita sejarah kelam saat masa perjuangan pascakemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Di sekitar aliran Coban Jahe konon terjadi peristiwa miris menimpa puluhan gerilyawan arek-arek Malang gugur, pasca kemerdekaan 1945. Saat itu sebanyak 38 gerilyawan Indonesia ditembaki oleh pasukan Belanda dalam agresi militer keduanya.
Pemandu Wisata Coban Jahe Sri Hartatik mengungkapkan bila nama Coban Jahe sendiri diambil kata dalam bahasa jawa 'pejahe' yang berarti meninggal dunianya.
Nama itu diambil untuk mengenang 38 pejuang gerilyawan kemerdekaan yang gugur saat pertempuran dengan tentara sekutu di hutan. Nama itu pula yang disematkan ke sungai kecil yang menjadi aliran ke air terjun.
(Foto: Avirista Midaada/Okezone)
"Kisah latar belakang lokasi ini memang menyedihkan terkait sejarah perjuangan para pejuang bangsa kita dulu," ujar Sri Hartatik.
Kala itu 38 gerilyawan lanjut Hartatik, tengah berisitirahat sambil menata strategi untuk melawan tentara sekutu, namun karena ada seseorang yang memberitahukan ke Belanda mengenai pergerakan gerilyawan, akhirnya mereka diserang.
"Saat itu mereka sedang bersembunyi di lembah sini, tapi oleh pasukan Belanda ketahuan, pasukan Belanda kemudian menembaki para pejuang gerilyawan ini dari atas bukit. Semuanya meninggal di kawasan sekitar sini (Coban Jahe)," jelas perempuan tiga anak ini.
Dirinya menjelaskan, berdasarkan kisah dari para sesepuh terdapat 38 orang gerilyawan yang meninggal dunia dengan tragis. Para pejuang gerilyawan ini tak sempat menghindar serangan mendadak dari para tentara sekutu dan Belanda yang tiba dari seluruh penjuru atas bukit.
"Dari cerita sesepuh dulu ada 38 orang gugur dan dimakamkan di taman makam pahlawan yang terdapat di tempat sebelum masuk Coban Jahe," tuturnya.
Kisah kelam di sekitaran Coban Jahe diakui Pegiat Sejarah Malang, Eko Irawan, dimana disebutkan bahwa pada tanggal 22 Desember 1948 terdapat sekitar 150-an dipimpin oleh Kapten Sabar Soetopo.
Para gerilyawan ini terjebak di hutan-hutan Kalijahe dan lembahnya saat akan menyeberang ke Desa Tosari, Probolinggo melintasi lautan pasir Gunung Bromo.
Mereka sengaja masuk ke hutan hutan kalijahe untuk menghindari intaian pesawat-pesawat Belanda saat menuju Tosari, karena kebetulan pasukan Belanda waktu itu sudah menguasai wilayah Tumpang. Namun karena terjebak di hutan kalijahe selama dua hari hingga akhirnya diserang hingga banyak yang gugur di sana, tuturnya.