Perang Salib: Masalah Kemurnian Agama Hanya sebagai Pemicu
Perang Salib di Timur Tengah memakan waktu 269 tahun, dimulai dari tahun 1096 hingga 1365. Itu jika Perang Salib X dihitung. Jika tidak, maka selama 176 tahun, yaitu dari tahun 1096 hingga 1272.
Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa" menyatakan dari sederet Perang Salib yang telah terjadi, dimulai dari perang pertama hingga perang terakhir, hampir semuanya dicampuri oleh masalah politik kerajaan yang di dalamnya juga terdapat faktor ekonomi.
"Sedangkan faktor yang didasari oleh masalah religiositas kekristenan hanya merupakan pemicu awal terjadinya perang," ujarnya.
Jika dilihat dari alasan-alasan terjadinya peperangan tersebut, kata Jati Pamungkas, mungkin Perang Salib I menjadi perang yang paling murni, akan tetapi itu pun masih didasari oleh kepentingan politik, terutama dari Byzantium yang terancam oleh Turki Seljuk.
Baca juga: Begini Kondisi Kekhalifahan Islam Menjelang Perang Salib I
Pasca Perang Salib I ternyata terdapat pembagian kekuasaan di antara para pemimpin mereka.
Tujuan utama perang tersebut adalah merebut kota Yerusalem dari kekuasaan Islam. Pada tahun 1099, Yerusalem berhasil dikuasai bahkan didirikan Kerajaan Yerusalem dan juga pemerintahan Kristen di sekitarnya. Sebut saja, kerajaan-kerajaan Tentara Salib di Edessa, Antiokhia, dan Tripoli.
"Semestinya Perang Salib II dan X tidak terjadi jika perang tersebut memang didasari hal yang murni dan alasan religiositas yang jelas," ujar Jati Pamungkas.
Yerusalem adalah kota dari tiga agama yang hidup berdampingan yang besar kemungkinan terjadi gesekan dan pertikaian. Yerusalem tidak dapat dipaksakan dihuni oleh satu agama.
Oleh karena itulah Umar bin Khattab bersedia menandatangani perjanjian yang isinya pemeluk Kristen dan Yahudi diberikan haknya secara penuh dalam kehidupan beragama, serta keamanannya sebagai warga diakui penuh sepanjang membayar pajak yang telah ditentukan.
Jarak Perang Salib I dengan II adalah 51 tahun. Jadi selama 51 tahun keberadaan Kerajaan Surga di Yerusalem dan sekitarnya tidak terusik oleh Islam.
Baca juga: Perang Salib I: Kisah Kekalahan Turki Seljuk Rum sehingga Memindahkan Ibu Kotanya
Pada tahun 1144, pemerintahan Kristen di Edessa dikalahkan oleh Turki Seljuk dan hal tersebut adalah alasan dikirimkannya pasukan yang lebih banyak ke Timur Tengah dengan tujuan menambah luas Kerajaan Surga.
Perang Salib II mengalami kegagalan dan pasukan Salib mengalami kekalahan di Timur Tengah. Perlu diketahui bahwa Turki Seljuk bukanlah pihak yang terlibat Perang Salib di Yerusalem. Jadi Turki Seljuk tidak terikat dengan pasukan Salib sehingga mereka kapan pun dapat menyerang Kerajaan Surga, baik Yerusalem, Tripoli, Antiokhia, ataupun Edessa.
Pasukan Salib di akhir pertempuran hanya melakukan perjanjian dengan Dinasti Fatimiyah. Perang Salib II secara politik mulai melibatkan raja-raja di Eropa yang termotivasi oleh Raymond, Bohemond, dan Baldwin yang ketiganya menjadi raja, serta Godfrey yang menjadi pendiri atau penggagas Kerajaan Yerusalem padahal mereka di Eropa bukanlah bangsawan utama sekelas raja.
Conrad II sebagai Raja Kerajaan Suci Roma dan Louis VII sebagai Raja Prancis mengikuti Perang Salib yang, selain karena seruan Paus, diduga bertujuan mendapatkan tanah-tanah baru di Timur Tengah.
Mendapatkan tanah atau wilayah sama halnya mendapatkan emas ataupun kekayaan yang berlimpah karena Timur Tengah, khususnya Yerusalem, Damaskus, dan Bagdad, adalah jantung perekonomian dunia.
Baca juga: Perang Salib II: Bukan Hanya Perang Katolik dengan Islam
Pada waktu itu Islam memulai masa kejayaannya dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, sedangkan Eropa masih jauh dari Renaisans.
Ibarat perbandingan, baju orang Timur Tengah, baik itu dari Mesir, Syams, atau Irak, pasti lebih bagus dari baju yang dipakai oleh orang-orang Eropa.
Hal tersebut juga berlaku pada berbagai hal dalam kehidupan seperti makanan, kualitas hidup, sistem masyarakat, hukum, dan sebagainya yang tercakup dalam peradaban.
Renaisans dimulai pada awal abad ke-14 dan Perang Salib II berakhir pada tahun 1149. Ketika Perang Salib IX berakhir pun, Eropa belum memulai kebangkitannya. Kebangkitan Eropa ada kaitannya dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 dan jatuhnya Emirat Granada pada tahun 1492.
Sejak itu Eropa mengandalkan ilmu pengetahuan dan Islam masih mengandalkan pedang (diwakili oleh Turki Usmani) dalam ekspansi.
Kemurnian agama semakin tenggelam dimulai dari Perang Salib IV hingga X. Semuanya dilandasi faktor ekonomi dan kekuasaan. Hal tersebut mengacu pada berulang kalinya pasukan Salib berusaha menaklukkan Mesir.
Sejak dulu Mesir kaya akan hasil pertanian dan terkenal akan tanah suburnya dibandingkan daerah Timur Tengah yang lain. Daerah yang dapat menandingi Mesir adalah Syam.
Baca juga: Perang Salib II: Kisah Kekalahan Dinasti Murabithun di Eropa
Syam juga tidak dalam genggaman sepenuhnya pasukan Salib. Pasukan Salib hanya menguasai daerah pesisir Syam yang lebih cocok digunakan untuk pelabuhan dan perdagangan daripada pertanian.
Perang Salib V, VII, VIII, dan IX adalah bukti bahwa pasukan Salib mengincar kekayaan Mesir. Alasannya adalah Yerusalem dikuasai Dinasti Ayyubiyah yang kemudian dilanjut Dinasti Mamlukiah yang berpusat di Kairo, Mesir.
Kondisi Rian D'Masiv usai Tersambar Api di Atas Panggung: Untung Pake Jaket Kulit Anti Api
Merebut Yerusalem sepenuhnya dapat terwujud jika mengalahkan kekuatan pusat. Logikanya, jika pusat atau Mesir dikalahkan, sudah menjadi kepastian hukum perang pada zamannya bahwa Mesir akan dijadikan daerah kekuasaan atau daerah jajahan, dan begitu pula dengan Yerusalem.
"Jadi Perang Salib lebih banyak terjadi karena alasan politik dan ekonomi," ujar Jati Pamungkas.
Baca juga: Perang Salib II: Kisah 4 Penyebab Kekalahan Pasukan Salib Melawan Kekhalifahan Islam