Peristiwa di Bulan Syawal: Ibrahim Putra Nabi Muhammad SAW Meninggal
Rasulullah SAW berduka pada tanggal 29 Syawal 10 H, atau bertepatan dengan 27 Maret 632 M. Putra beliau dengan Sayyidah Mariyatul Qibthiyah yang bernama Ibrahim wafat. Air mata beliau deras membasahi dan hati beliau dirundung kesedihan yang teramat mendalam.
Para sahabat menyaksikan sendiri betapa Nabi merasa sangat kehilangan atas kepergian putra tercintanya itu. Dalam satu hadis dijelaskan,
[arabOpen] .[arabClose]Artinya, Sungguh mata ini meneteskan air mata dan hati ini sedang dirundung duka. Namun, kami tidak mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Rabb kami. Sungguh, kami bersedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim. (HR Bukhari )
Maumud Basya dalam kitab " Natijul Afhm " menyebut hari duka itu 29 Syawal 10 H. Namun ada versi lain yang berpendapat dengan tanggal dan bulan yang berbeda, akan tetapi para sejarawan sepakat bahwa Ibrahim wafat pada tahun 10 H ketika usianya yang baru dua tahun.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " menggambarkan setelah istri tercinta Siti Khadijah wafat, Rasulullah SAW kehilangan putri-putrinya pula, satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Kala itu, tak ada lagi yang masih hidup, selain Sayyidah Fathimah.
Putra-putra dan putri-putri itu, yang satu demi satu berguguran di tangannya dan dengan tangannya sendiri pula beliau menguburkan mereka ke dalam pusara, yang telah meninggalkan luka yang begitu pedih dalam hatinya. Pada saat Ibrahim lahir, hati beliau terasa terobati.
Tetapi harapan ini tidak berlangsung lama; hanya selama beberapa bulan saja. Sesudah itu Ibrahim jatuh sakit, sakit yang sangat mengkhawatirkan. Ia dipindahkan ke sebuah tempat dengan kebun kurma di samping Masyraba Umm Ibrahim.
Haekal menuturkan Maria (Sayyidah Mariyatul Qibthiyah) dan Sirin adiknya selalu menjaga dan merawatnya. Bayi ini tidak lama sakitnya. Tatkala ajal sudah dekat dan Nabi diberi tahu, karena rasa sedih yang sangat mendalam, beliau berjalan dengan memegang tangan Abdur-Rahman bin 'Auf sambil bertumpu kepadanya.
Bila beliau sudah sampai ke tempat itu di samping 'Alia - tempat Masyraba yang sekarang - dijumpainya Ibrahim dalam pangkuan ibunya, sedang menarik napas terakhir.
Diambilnya anak itu, lalu diletakkannya di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam rasanya. Tangannya menggigil. Kalbu yang duka dan pilu rasa mencekam seluruh sanubari.
Lukisan hati yang sedih mulai membayang dalam raut wajahnya. Sambil meletakkan anak itu di pangkuan ia berkata: "Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah SWT."
Dalam keadaan hening yang menekan itu kemudian airmatanya berderai bercucuran, sementara anak itu sedang menarik napas terakhir. Sang ibu dan Sirin menangis menjerit-jerit; oleh Rasulullah dibiarkan mereka begitu.
Setelah tubuh Ibrahim tiada bergerak lagi, sudah tiada bernyawa, dan dengan kematiannya itu padam pula semua harapan yang selama ini membuka hati Nabi, makin deras pula airmata Rasulullah mengucur, sambil ia berkata:
"Oh Ibrahim, kalau bukan karena soal kenyataan, dan janji yang tak dapat dibantah lagi, dan bahwa kami yang kemudian akan menyusul orang yang sudah lebih dahulu daripada kami, tentu akan lebih lagi kesedihan kami dari ini." Dan setelah diam sejenak, katanya lagi: "Mata boleh bercucuran, hati dapat merasa duka, tapi kami hanya berkata apa yang menjadi perkenan Tuhan, dan bahwa kami, O Ibrahim, sungguh sedih terhadapmu."
Wafat di Usia Dini
Ibrahim merupakan salah satu dari tiga putra Rasulullah SAW yang semuanya wafat dalam usia dini. Mereka adalah Ibrahim, Qasim yang yang dijuluki Ath-Thayyib (yang baik), dan Abdullah yang berjuluk Ath-Thahir (yang suci).
Total putra-putri Rasulullah SAW ada tujuh, yang putri ada empat yaitu Sayyidah Fathimah, Sayyidah Zainab, Sayyidah Ruqayyah, dan Sayyida Ummu Kultsum. Semuanya lahir dari rahim Sayyidah Khadijah, kecuali Ibrahim lahir dari Sayyidah Mariyatul Qibthiyah.
Semua putra-putra Nabi Muhammad wafat saat masih balita. Artinya, mereka semua meninggal sebelum Nabi wafat. Muhammad Faraj dalam bukunya berjudul "Al-Abqariyyatul Askariyyah" berpendapat hikmah di balik ketetapan Allah ini adalah supaya setelah Rasulllah wafat, tidak ada orang dari keturunan beliau yang dikultuskan sebagai pewaris kenabian, dan hal ini sangat mungkin akan dialami putra-putra Nabi jika mereka masih hidup. Sementara sudah jelas bahwa Rasulullah adalah Nabi terakhir.