Kisah Sedih Para Relawan Tanah Air, Berjuang di Rumah Sakit Indonesia Gaza
SATU bulan lebih tenaga kesehatan di Rumah Sakit Indonesia yang ada di kawasan Beit Laiha, Gaza, Palestina bekerja keras tak henti-henti. Seiring meningkatnya serangan yang dilakukan Israel ke wilayah Gaza, Palestina, semakin tinggi juga tanggung jawab yang diemban oleh para tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit yang didirikan pada 2011 itu.
Fikri Rofiul Haq, sukarelawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dari Indonesia dikutip Aljazeera, Rabu (8/11/2023) ini mengatakan saat tidak ada waktu buat para tenaga kesehatan di Rumah Sakit Indonesia untuk jeda istirahat.
Setiap saat korban serangan Israel berdatangan. Di saat yang sama Rumah Sakit Indonesia semakin penuh sesak karena banyaknya warga Gaza yang berlindung di dalamnya.
"Rumah sakit benar-benar butuh tenaga bantuan kesehatan tambahan. Mereka sudah bekerja selama 24 jam penuh tanpa henti," kata Fikri Rofiul Haq.
Para tenaga kesehatan di Rumah Sakit Indonesia di Gaza memang benar-benar bekerja layaknya malaikat. Seperti malaikat, mereka tidak tidur dalam berusaha menyelamatkan masyarakat Gaza yang jadi korban serangan bom Israel.

Mereka juga tidak mengeluh ketika tantangan demi tantangan berdatangan. Mulai dari jumlah korban yang terus meningkat hingga keadaan rumah sakit yang semakin terbatas.
"Setidaknya di rumah sakit ini sudah ada 870 orang yang meninggal dan 2.530 orang dirawat karena luka-luka," kata Fikri Rofiul Haq.
Kondisi Rumah Sakit Indonesia di Gaza memang sangat memprihatinkan. Blokade yang diterapkan Israel ke wilayah Gaza membuat berbagai keperluan yang dibutuhkan Rumah Sakit Indonesia sulit untuk diberikan. Obat-obatan, bahan bakar, hingga donasi yang biasanya terkirim dari Indonesia justru tertahan. Alhasil para tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit Indonesia bekerja dalam kondisi yang kurang ideal.
Dokter Marwan Sultan, Direktur Medis di Rumah Sakit Indonesia mengatakan situasi di rumah sakit memburuk karena generator listrik kehabisan bahan bakar. Dua hari setelah pengeboman kamp pengungsian Jabalia atau pada 2 November 2023 lalu, rumah sakit itu kehilangan daya listrik.
"Konsekuensinya kami berhenti melakukan operasi terhadap pasien kecuali operasi itu untuk menyelamatkan nyawa," ujar Dokter Marwan dikutip BBC.










