Membedah Peraturan Hukuman Mati di Indonesia dan Tata Pelaksanaannya
Indonesia telah mengenal pidana mati sejak zaman kerajaan. Hukuman ini adalah bentuk hukuman terberat bagi seseorang yang dijatuhkan oleh pengadilan atau tanpa pengadilan. Pidana mati sebagai hukuman telah ada sejak lama dan merupakan bagian dari sejarah hukum Indonesia, dan pelaksanaannya sudah sesuai dengan peraturan hukuman mati di Indonesia.
Pada masa kerajaan, pidana mati biasanya dikenakan untuk tindakan-tindakan yang dianggap merugikan kerajaan atau masyarakat, seperti pengkhianatan, perampokan, dan kejahatan-kejahatan lain yang dianggap sangat serius. Meskipun demikian, penjatuhan pidana mati pada masa itu tidak selalu merupakan hal yang biasa dan seringkali dikontrol oleh pihak kerajaan.
Setelah era kemerdekaan, pidana mati masih dipertahankan sebagai hukuman terberat bagi kejahatan-kejahatan tertentu. Meskipun demikian, penggunaannya sangat terbatas dan hanya diterapkan dalam kasus-kasus yang sangat parah, seperti pembunuhan, terorisme, dan narkotika.
Dasar Hukuman Mati
Ekosistem AI Terpadu: Chatbot Natural hingga CRM, Dorong Efisiensi dan Transformasi Digital Bisnis
Hukuman mati adalah hukuman terberat yang dapat diterima oleh seorang individu karena tindakannya. Pada mulanya, peraturan hukuman mati di Indonesia dilaksanakan menurut pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa hukuman mati harus dilakukan dengan menggantung leher si terpidana dengan menggunakan jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya.
Namun, dengan berjalannya waktu dan perkembangan hukum, pasal tersebut kemudian diubah dan dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 2/PNPS/1964. Dalam undang-undang tersebut, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil dan dilakukan dengan cara menembak mati.
Dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman mati tergolong sebagai salah satu pidana pokok. Beberapa kejahatan yang diancam dengan hukuman mati antara lain membunuh kepala negara, mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia, memberikan pertolongan kepada musuh pada saat negara dalam keadaan perang, membunuh kepala negara sahabat, pembunuhan yang direncanakan, pencurian dan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati, dan pelanggaran UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
Peraturan hukuman mati di Indonesia juga diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Adanya ancaman hukuman mati ini memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan harus membuat mereka berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan korupsi.
Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati
Dalam pelaksanaannya, hukuman mati di Indonesia dilakukan dalam empat tahapan sesuai dengan peraturan hukuman mati di Indonesia. Yaitu persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengakhiran.
Sebelum pelaksanaan, terpidana akan diberikan pakaian yang bersih, sederhana, dan berwarna putih. Ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa orang yang akan dieksekusi telah menjalani hukumannya dengan cara yang baik dan diterima oleh masyarakat. Terpidana juga diizinkan untuk didampingi oleh seorang rohaniawan saat dibawa ke tempat pelaksanaan pidana mati.
Regu pendukung telah siap di tempat yang telah ditentukan 2 jam sebelum waktu pelaksanaan pidana mati. Mereka memastikan bahwa lingkungan aman dan terkendali selama proses eksekusi berlangsung. Regu penembak juga siap di lokasi pelaksanaan pidana mati 1 jam sebelum pelaksanaan dan berkumpul di daerah persiapan.
Sebelum eksekusi hukuman mati, Jaksa Eksekutor melakukan pemeriksaan terakhir terhadap terpidana mati dan persenjataan yang akan digunakan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa semuanya siap dan aman sebelum pelaksanaan. Atas perintah dari Jaksa Eksekutor, Komandan Pelaksana memerintahkan Komandan Regu penembak untuk mengisi amunisi dan mengunci senjata ke dalam 12 pucuk senjata api laras panjang. Masing-masing senjata api berisi 3 butir peluru tajam dan 9 butir peluru hampa.
Jaksa Eksekutor juga memerintahkan Komandan Regu 2 bersama anggotanya untuk membawa terpidana ke posisi penembakan dan melepaskan borgol. Terpidana kemudian diikat kedua tangan dan kaki ke tiang penyangga pelaksanaan pidana mati dengan posisi berdiri, duduk, atau berlutut. Kelebihan posisi lain akan ditentukan oleh Jaksa Eksekutor.
Sebelum eksekusi hukuman mati, terpidana diberikan kesempatan terakhir untuk menenangkan diri selama maksimal 3 menit. Terpidana didampingi oleh seorang rohaniawan untuk membantu mengatasi kecemasan dan membantu menenangkan pikiran.
Setelah kesempatan terakhir, Komandan Regu 2 menutup mata terpidana dengan kain hitam. Ini dilakukan untuk membantu terpidana mengatasi rasa takut dan tidak memiliki pandangan akan apa yang terjadi. Namun, jika terpidana menolak, mata tidak ditutup.
Dokter juga memberikan tanda berwarna hitam pada baju terpidana tepat pada posisi jantung sebagai sasaran penembakan. Ini dilakukan untuk membantu Regu penembak memastikan bahwa tembakan tepat pada lokasi yang ditentukan.
Proses eksekusi dimulai ketika Jaksa Eksekutor memberikan tanda atau isyarat kepada Komandan Pelaksana. Komandan Pelaksana, pada gilirannya, memberikan isyarat kepada Regu penembak untuk membawa senjata dan membidik sasaran. Kemudian, Komandan Pelaksana memimpin proses eksekusi dengan berdiri di samping regu penembak dan memimpin isyarat-isyarat formal yang memicu aksi penembakan.
Regu penembak membuka kunci senjata dan membidik sasaran ke jantung terpidana. Pada saat yang tepat, Komandan Pelaksana mengacungkan pedang dan menghentakkan pedang ke bawah, sebagai isyarat kepada regu penembak untuk melakukan penembakan secara serentak. Proses eksekusi dilakukan dengan hati-hati dan tanpa keraguan, sebagai bagian dari hukum yang harus dilaksanakan.
Penembakan dilakukan setelah Komandan Pelaksana menghunus pedang sebagai isyarat bagi regu penembak untuk membidik sasaran ke arah jantung terpidana.
Penembakan pengakhir, yang dilakukan apabila menurut Dokter terpidana masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan setelah penembakan pertama. Komandan Pelaksana memerintahkan regu penembak untuk melakukan penembakan pengakhir dengan menempelkan ujung laras senjata genggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga. Penembakan pengakhir ini dapat diulangi apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan.
Pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila Dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahap pelaksanaan hukuman mati harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan profesionalisme untuk memastikan bahwa tindakan ini tidak merugikan siapa pun.

