Cara Diponegoro Membiayai Perang Jawa

Cara Diponegoro Membiayai Perang Jawa

Teknologi | BuddyKu | Selasa, 13 Desember 2022 - 07:41
share

YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM - Perang tentunya memerlukan dukungan dana untuk membiayai perang baik digunakan untuk membeli senjata, biaya operasional perang, maupun membiayai hidup para panglima perang dan parjurit yang sedang bertempur.

Diponegoro sedikit lega karena Perang Jawa dibantu oleh orang-orang desa yang tentunya tidak memerlukan dana itu semua. Bagaimana cara Diponegoro menggali dana untuk biaya Perang Jawa?

Sejak keluar dari pemukiman Tegalrejo pada 20 Juli 1825, Diponegoro tidak sempat menjual harta-hartanya yang tidak bergerak di Tegalrejo misalnya tanah, rumah, perabot rumah tangga, hasil pertanian, kuda, sapi, kambing dan sebagainya.

Penyerangan yang digagas trio musuh Diponegoro seperti Residen Yogyakarta Smissaert, Patih Danurejo IV, dan komandan pasukan kawal Sultan kelima, Mayor Tumenggung Wironegoro begitu mendadak.

Untuk itulah, Sang Pangeran harus buru-buru meninggalkan Tegalrejo, saat rumah warisan Ratu Ageng Tegalrejo itu dibakar Kolonial Belanda. Diponegoro meninggalkan uang yang tersimpan di rumah sebesar 3.000 gulden.

Berton-ton padi yang disimpan di lumbung padi terpaksa harus menjadi arang karena pembakaran di Tegalrejo. Bahkan cap atau stempel yang sudah disiapkan oleh Sang Pangeran jika perang benar-benar terjadi juga ketinggalan di Tegalrejo.

Cap atau stempel itu fungsinya untuk melegitimasi setiap panglima yang diangkat dengan diberi semacam piagam beserta cap stempel sebagai tanda bahwa jabatan panglima benar-benar legal.

Mendengar bahwa Diponegoro tidak membawa uang sepeser pun tetapi hanya beberapa perhiasan istri dan anak-anaknya saat meninggalkan Tegalrejo membuat para pangeran, kerabat, dan simpatisan tergerak hatinya untuk membantu biaya perang Diponegoro.

Para Pangeran Sepuh (putra raja yang sudah tua) yang mendukung perang Diponegoro beramai-ramai menyumbangkan barang berharga mereka ketika Diponegoro bermarkas di Selarong.

Sumbangan-sumbangan itu berupa permata, uang kontan, dan barang-barang berharga lain yang bisa diuangkan, misalnya hiasan, sarung keris bertakhta permata, sabuk bersepuh emas, dan lain sebagainya.

Mengandalkan sumbangan dalam pembiayaan perang tentu saja tidak cukup. Untuk itu Diponegoro memerintahkan agar jika terjadi kemenangan di pertempuran, maka prajurit wajib mengambil harta mereka sebagai harta rampasan perang.

Untuk itulah, ketika terjadi pertempuran dahsyat di perbatasan Yogyakarta-Kedu, tepatnya di Pisangan Tempel sebelah utara Yogyakarta pada tanggal 24 Juli 1825, pasukan Diponegoro setelah menang pertenpuran, menjarah uang rampasan sebesar 24.000 gulden.

Uang itu sebenarnya rencananya akan digunakan oleh garnisun Belanda di Yogyakarta untuk pembiayaan operasional Perang Jawa. Uang hasil rampasan di samping digunakan untuk biaya perang, sisanya dibagikan oleh para panglima dan para prajurit secara merata agar mereka dapat membiayai hidup diri dan keluarganya yang harus ditinggalkan karena perang gerilya.

Pembagian itu diberikan Diponegoro kepada para pendukungnya secara berkala sehingga para prajurit dapat menggunakan uang itu dengan bijaksana dan tidak boros.

Tetapi dalam pembagian uang secara berkala itu juga ada yang tidak terima, karena menganggap uang yang didapat terlalu sedikit. Protes karena uang yang didapat tidak sesuai harapan ini pernah dilakukan oleh Raden Sukur, seorang bangsawan putra Bupati Semarang yang bernama Suroadimenggolo V.

Raden Sukur memang bergabung sejak awal dengan Diponegoro dalam Perang Jawa. Ketika mendapatkan uang itu dia mengeluh karena dianggap terlalu sedikit untuk ukuran bangsawan, putra bupati seperti dia. Saat itu Sukur mendapatkan uang sebesar 2.40 gulden.

Uang sebesar itu tidak dapat mencukupi kehidupannya dan mengirim kepada istri-istri dan anaknya. Untuk itulah dia harus menjual pakaian seragam jabatan dan hiasan pribadinya. Merasa tidak tahan dengan penderitaan hidup selama Perang Jawa, akhirnya dia menyerah kepada Belanda pada bulan Agustus 1829.

Dana Perang yang diambil dari sumbangan dan rampasan itu tentu saja jauh dari cukup, karena pengikut Diponegoro semakin banyak. Untuk itulah digagas, untuk membiayai perang, jalan satu-satunya adalah menarik uang pajak kepada rakyat Yogyakarta dan sekitarnya yang mendukung Perang Jawa.

Penarikan pajak kepada rakyat termasuk pajak pasar inilah sebagai awal perseteruan antara Diponegoro dengan Sentot Prawirodirjo, panglima Perang Jawa.

Memang, seharusnya penarik pajak itu ditugaskan kepada orang terpercaya yang pintar memegang keuangan untuk biaya operasional perang.

Sentot rupanya membutuhkan uang banyak sehingga dia berani menulis surat kepada Diponegoro yang isinya pertama, agar dia diberi kekuasan mempimpin seluruh pasukan di medan tempur. Kedua, dia minta agar diizinkan langsung menarik pajak kepada rakyat untuk biaya operasioan prajuritnya.

Permintaan yang kedua itu tentu saja membuat Diponegoro bimbang dan ragu, karena seorang panglima perang mengurusi uang sedangkan kewajibannya hanya satu yaitu merencanakan dan memimpin sebuah pertempuran.

Jika seorang panglima perang tangan kanannya memegang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang uang maka insting bertempurnya akan segera luntur.

Untuk itulah Diponegoro mengumpulkan semua penasehatnya termasuk penasehat utama sekaligus pamannya, Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi menyarankan agar Diponegoro mengizinkan Sentot memungut pajak karena memang prajuritnya butuh biaya operasional perang.

Dengan berat hati Diponegoro menyetujuinya. Sang Pangeran akhirnya menyetujui dengan syarat bahwa uang sebesar 3.000 gulden hasil pajak pasar di Kulonprogo dan Bagelen Timur dikumpulkan. Setelah terkumpul maka uang itu dibagi dua, setengahnya diberikan kepada Sentot dan setengahnya lagi diberikan kepada Diponegoro.

Benar saja, setelah Sentot diperbolehkan memegang uang dari pajak rakyat, insting bertempurnya menjadi kendor dan itu sangat disesali Diponegoro.

Sang Pangeran semakin merasa bersalah dengan keputusannya karena ternyata para pemungut pajak anak buah Sentot dalam menarik pajak disertai ancaman dan perilaku kasar kepada rakyat. Parahnya lagi, anak buah Sentot ini menarik pajak lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan.

Dana perang dari pajak rakyat semakin lama semakin menyusut sebab daerah-daerah yang dikuasi pasukan Diponegoro juga semakin menyusut karena direbut oleh Kolonial Belanda.

Akibatnya, para prajurit Diponegoro mengalami kelaparan di mana-mana. Keuangan Diponegoro semakin menipis setelah pemerintah Kolonial Belanda membujuk warga agar pindah ke wilayah yang dikuasai Kolonial Belanda.

Tentu saja dengan rayuan manis berupa memberikan bajak untuk bertani, memberikan hewan penghela, dan benih padi secara cuma-cuma akan berdampak pada pembelotan warga kepada kolonial. Tidak itu saja kolonial juga menjanjikan pengurangan pajak dan memberikan upah bagi buruh jika bekerja di pertanian milik kolonial.

Keberhasilan strategi perang kolonial inilah yang menjadikan Perang Jawa semakin mendekati tahap-tahap kekalahan di pihak Pasukan Diponegoro.

Bagaimanapun juga biaya perang sangat dibutuhkan agar para pasukan yang bertempur dengan perut kenyang dan keluarga yang ditinggalkan tidak hidup kelaparan dan kesengsaraan.

Penulis Lilik Suharmaji

Founder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta

Bacaan Rujukan

Peter Carey. 2019. Kuasa Ramalan Jilid 2. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Gunawan Dkk (penerjemah). 2019. Babad Diponegara. Yogyakarta: Narasi.

Topik Menarik