Wake Up Call for Indonesia

Wake Up Call for Indonesia

Nasional | sindonews | Kamis, 4 September 2025 - 21:52
share

Yusuf Sugiyarto Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026

MARI kita buka dengan data yang jika dibaca dengan akal dan nurani akan menjadi kepekaan atas apa yang terjadi di masyarakat Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan empat 2024 mencapai Rp78,6 juta per kapita.

Angka ini adalah tolak ukur yang akan dielu-elukan oleh pemerintahan kita jika dia mengalami kenaikan, PDB per kapita adalah nilai PDB suatu negara dibagi dengan jumlah penduduknya. Nilai PDB per Kapita dihitung dari nilai PDB atas harga berlaku Rp22.139,0 triliun dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun sebanyak kurang lebih 281,6 juta jiwa sehingga didapat nilai PDB per Kapita sebesar Rp78,6 Juta.

PDB per kapita digunakan untuk mengukur perekonomian suatu negara dengan mempertimbangkan jumlah penduduk. Angka ini terlihat besar dalam kacamata pergerakan pasar, tetapi sayangnya angka ini justru tidak menunjukan pendapatan asli dari tiap warga negara.

Juga menurut BPS jumlah penduduk miskin di Indonesia pada maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, lalu indikator apa yang membuat seorang warga negara dikategorikan miskin? BPS menjelaskan standar orang yang dikategorikan miskin adalah memiliki pengeluaran Rp20.238 per hari. Angka yang sangat rendah dan timpang dengan angka pergerakan pasar di PDB kita.

Dalam bukunya Lorenzo Fioramonti yang berjudul “Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi” menunjukan bahwa PDB, sebagaimana temuan Fioramonti— justru acap kali menjadi “angka yang maha kuasa” yang mengarahkan publik luas untuk menyembahnya dan menjalankan segala apa yang diinginkannya, walaupun hasilnya jauh panggang dari api.

PDB menyederhanakan kompleksitas kehidupan sosial menjadi sekadar angka-angka, dan menekankan pada ekonomi pasar sembari mengabaikan kepentingan manusia, sosial, dan ekologi. PDB mengantarkan kita ke sebuah era melimpahnya kekayaan sembari menumbuhkan ketimpangan, pengurasan sumber daya alam, dan naiknya keresahan sosial.

Hari ini kita melihat justru PDB menjadi indikator ketimpangan disaat pendapatan perkapita mencapai Rp78,6 juta yang artinya pergerakan pasar mencapai titik angka yang tinggi tetapi di satu sisi terdapat 23,85 juta orang yang hanya mampu mengeluarkan Rp20.238. Belum lagi jika kita naikan indikator kemiskinannya beberapa level mungkin angka ini akan naik berkali-kali lipat. Inilah kenyataan ketimpangan yang terjadi di negara kita tercinta. Mari kita masukan satu data lagi untuk menambah kepekaan kita yaitu rasio gini. Rasio Gini yang terus bertahan di kisaran 0,38–0,40 menyingkap semakin lebarnya ketimpangan sosial-ekonomi. Angka tersebut bukan hanya data teknis, tetapi gambaran nyata gagalnya negara menjalankan amanat Pancasila.

Kekayaan alam yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan rakyat justru terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Akses terhadap ekonomi dan politik dikuasai oligarki, sementara sebagian besar rakyat hanya bergelut dalam sektor informal, terjebak pada upah riil yang tak kunjung naik, serta hidup dalam kondisi rentan sehari-hari.

Kesenjangan sebagai Problem Ontologis Kesenjangan sosial yang semakin melebar akhirnya meletup menjadi aksi besar pada 25 Agustus 2025. Awalnya dipicu oleh penolakan terhadap kenaikan tunjangan DPR, gelombang demonstrasi dengan cepat meluas ke berbagai kota sebagai wujud kekecewaan rakyat terhadap kebijakan elitis, lemahnya kepedulian negara, serta sikap represif aparat.

Tragedi Affan Kurniawan—seorang pengemudi ojek online yang meninggal setelah dilindas kendaraan taktis Brimob—menjadi simbol nyata betapa rapuhnya demokrasi Indonesia. Negara gagal menjalankan perannya sebagai pelindung, lembaga perwakilan kehilangan legitimasi, dan ruang partisipasi rakyat semakin menyempit.

Peristiwa ini menyingkap wajah demokrasi kita yang berhenti pada level prosedural: sekadar pemilu lima tahunan yang hanya berkutat pada perebutan suara dan kekuasaan, tanpa menjawab persoalan keadilan sosial. Padahal, demokrasi sejatinya harus bersifat substantif—menjamin kesejahteraan, kebebasan, dan martabat rakyat.

Partai politik, yang mestinya menjadi pilar utama demokrasi, kini justru semakin jauh dari mandat ideologis dan konstitusional. Para wakil rakyat yang lahir dari proses politik tidak lagi memahami kondisi rakyat yang timpang dan jauh dari sejahtera. Realitas reformasi menunjukkan bahwa partai politik berubah menjadi korporasi politik yang lebih sibuk menjaga kekuasaan ketimbang memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Titik mula koreksi terlihat jelas: kenaikan tunjangan yang tinggi bagi anggota dewan kontras dengan musibah yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pekerja keras dari kalangan rakyat kecil. Dari sini, semakin nyata bahwa institusi negara harus segera diperbaiki agar kembali berpihak pada kepentingan rakyat. Pesan itu sejatinya telah jauh-jauh hari diingatkan oleh Cak Nur dalam NDP Bab V. Negara, kata beliau, sejak awal adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah hanyalah amanat yang lahir dari rakyat untuk menegakkan keadilan. Tugas fundamental pemerintah ialah melindungi martabat manusia, memastikan kebebasan tidak dirusak oleh kerakusan, dan menjamin bahwa setiap warga mengambil bagian dalam tanggung jawab bersama melalui demokrasi.

Keadilan yang dimaksud bukan sekadar legalitas formal, melainkan distribusi kesejahteraan yang wajar. Ketika kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kemiskinan, maka keadilan berubah menjadi kezaliman. Di titik ini, sejarah menunjukkan bahwa pertentangan antara yang menindas dan yang ditindas tak terhindarkan, dan pada akhirnya kebenaran berpihak kepada kaum miskin.

Cak Nur mengingatkan, kejahatan terbesar di bidang sosial-ekonomi adalah penindasan oleh kapitalisme: ketika harta dan modal menguasai manusia, bukan manusia yang menguasai harta. Itulah sebabnya menegakkan keadilan berarti membatasi akumulasi kekayaan, memberantas praktik penindasan, dan mengarahkan seluruh sumber daya untuk kepentingan umum. Zakat, distribusi adil, dan larangan terhadap cara memperoleh kekayaan yang haram adalah pilar koreksi menuju masyarakat yang bermartabat.

Pesan inilah yang relevan untuk kondisi Indonesia hari ini. Krisis demokrasi dan kesenjangan sosial tidak akan selesai dengan prosedur politik belaka, melainkan dengan menegakkan prinsip keadilan sebagaimana amanat Pancasila dan nilai Ketuhanan.

Negara wajib membuka akses pendidikan, menjamin kesempatan kerja, melindungi keluarga, dan memastikan distribusi kekayaan nasional secara adil. Hanya dengan itu, demokrasi tidak lagi berhenti pada ritual lima tahunan, tetapi hadir nyata dalam keseharian rakyat sebagai kesejahteraan, kebebasan, dan martabat.

Kita melangkah lagi dengan penuh harap tetapi juga penuh perhitungan NDP: mengingatkan bahwa negara berdiri untuk keadilan, bukan untuk memperkaya segelintir elite. Jika hal imi dijalankan, Indonesia tidak akan runtuh dalam proseduralisme kosong, tetapi bangkit menuju masyarakat yang adil, makmur, dan berketuhanan.

Membangun Keadilan Fiskal Kepercayaan rakyat terhadap pengelolaan fiskal negara bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Ia tumbuh dari keterbukaan, konsistensi, dan keberpihakan pemerintah pada kepentingan rakyat. Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, kepercayaan tersebut terasa rapuh. Rakyat semakin kritis melihat arah penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara kondisi ekonomi sehari-hari makin menekan. Pemerintah perlu berhenti menutup mata dari realitas ekonomi yang semakin berat dirasakan masyarakat. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan pekerjaan tak bertambah signifikan, dan daya beli melemah.

Dalam situasi seperti ini, retorika optimisme yang berlebihan tanpa langkah nyata justru memperlebar jurang ketidakpercayaan. Rakyat tidak membutuhkan ilusi, melainkan pengakuan jujur atas tantangan yang ada, disertai solusi konkret untuk mengatasinya.

Pil pahit masih ditelan oleh rakyat. Anggaran gaji dan tunjangan DPR justru melonjak signifikan, dari Rp6,6 triliun pada 2025 menjadi Rp 9,9 triliun di RAPBN 2026. Kenaikan ini terjadi ketika publik masih mengeluhkan beban hidup yang semakin berat. Sulit untuk tidak melihat ironi di balik kenyataan bahwa wakil rakyat menikmati peningkatan fasilitas, sementara rakyat yang diwakili justru berjuang dengan kondisi ekonomi yang kian terjepit.

Lebih mengkhawatirkan lagi, anggaran transfer ke daerah justru dipangkas drastis. Dari Rp 919 triliun di APBN 2025, turun menjadi Rp 650 triliun pada RAPBN 2026. Pemangkasan ini berpotensi melemahkan kapasitas fiskal pemerintah daerah yang selama ini menjadi ujung tombak pelayanan publik. Dengan dana yang lebih kecil, banyak daerah dipaksa mencari sumber pemasukan lain, misalnya dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Konsekuensinya, beban tambahan justru kembali jatuh ke pundak masyarakat.

Kebijakan anggaran seperti ini memperlihatkan arah prioritas yang membingungkan. Negara seakan lebih fokus memenuhi kepentingan politik dan seremonial, ketimbang memperkuat pondasi kesejahteraan di tingkat lokal. Padahal, justru di daerahlah wajah asli pembangunan terlihat, dan di sanalah rakyat merasakan langsung hadir atau tidaknya negara.

Ke depan, pembahasan APBN harus benar-benar menempatkan kepentingan rakyat sebagai kompas utama. Tanpa koreksi serius, anggaran hanya akan menjadi simbol ketidakadilan fiskal: di satu sisi gemuk untuk elite, di sisi lain kurus bagi rakyat yang membutuhkan.

Membangun kembali kepercayaan publik bukan sekadar soal teknis fiskal, melainkan juga soal moral politik. Ketika rakyat merasa bahwa pemerintah serius menjaga setiap rupiah uang negara dan berbicara apa adanya mengenai kondisi bangsa, maka legitimasi sosial akan kembali menguat. Pada akhirnya, keberhasilan pengelolaan fiskal bukan hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari sejauh mana rakyat percaya bahwa negara hadir untuk rakyat. Dalam hal ini, gagasan Nurcholish Madjid dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) menjadi semakin relevan. Allahyarham menekankan bahwa harta pada hakikatnya adalah milik Tuhan, sementara manusia hanya diberi amanat untuk mengelolanya secara adil. Karena itu, zakat hanya diwajibkan kepada orang kaya, bukan kepada yang miskin.

Bahkan, harta yang diperoleh secara haram tidak boleh dikenai zakat, tetapi harus disita negara untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum. Pesan moralnya jelas: beban kewajiban ekonomi harus diarahkan kepada yang mampu, bukan memeras dari yang lemah.

Jika kita bawa ke dalam konteks perpajakan modern, semangat itu seharusnya menjadi pedoman. Pajak yang adil adalah pajak yang progresif: semakin besar kekayaan, semakin besar pula kontribusinya. Negara harus berani membebani kalangan kaya, para pemilik modal, dan korporasi besar dengan pajak yang lebih tinggi, sembari meringankan rakyat kecil yang sudah terbebani oleh kebutuhan hidup sehari-hari.

Sayangnya, arah kebijakan fiskal kita kadang berjalan terbalik. Pajak pertambahan nilai (PPN) atas kebutuhan pokok, misalnya, menekan mereka yang justru paling lemah. Sementara itu, sejumlah fasilitas, insentif, atau bahkan celah hukum justru lebih mudah diakses kalangan berada.

Padahal, seperti kata Cak Nur, “kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat dan membuat akibat destruktif.” Jika negara membiarkan jurang kaya-miskin semakin melebar melalui sistem pajak yang tidak adil, itu berarti negara sedang merusak jaring sosial masyarakatnya sendiri.

Inilah yang terukur, inti dari pajak yang adil adalah keberpihakan. Negara tidak boleh bersikap netral dalam menghadapi ketimpangan, sebab netralitas di tengah ketidakadilan berarti berpihak pada yang kuat.

Pajak harus diarahkan untuk melindungi yang lemah, menciptakan kesempatan yang sama, serta memastikan setiap warga hidup secara terhormat. Dan itu hanya mungkin terwujud jika kaum kaya diminta memberi kontribusi lebih besar, sementara kaum miskin dibebaskan dari beban yang tidak layak mereka tanggung.

Topik Menarik