Kisah Japan Airlines Jatuh Tewaskan 520 Orang, Si 'Titanic Jepang' yang Dibiarkan 12 Jam

Kisah Japan Airlines Jatuh Tewaskan 520 Orang, Si 'Titanic Jepang' yang Dibiarkan 12 Jam

Global | sindonews | Minggu, 17 Agustus 2025 - 08:24
share

Pada 12 Agustus 1985 atau empat dekade silam, Japan Airlines Penerbangan 123 jatuh dan menewaskan 520 orang di dalamnya. Dijuluki sebagai "Titanic Jepang", kecelakaan tragis ini tetap dikenang sebagai salah satu tragedi penerbangan terburuk sepanjang masa.

Foto-foto terakhir yang mengerikan menunjukkan pesawat tersebut beberapa saat sebelum jatuh karena kegagalan kritis. Pesawat Boeing 747SR-46 itu jatuh hanya 100 km di barat laut Tokyo.

Di dalam pesawat tersebut terdapat 509 penumpang dan 15 awak. Hanya empat orang yang selamat.

Si "Titanic Jepang" ini lepas landas dari Tokyo dan menuju Osaka, tetapi secara tragis jatuh di daerah terpencil di pegunungan Takamagahara.

Baca Juga: Sudah 11 Tahun Pesawat MH370 Hilang Tanpa Jejak, Ini Kronologi hingga Pesan Kokpitnya

Salah satu dari beberapa foto terakhir menunjukkan bahwa pesawat tersebut kehilangan sirip ekornya.

Foto lain, yang diduga merupakan foto terakhir yang diambil di dalam pesawat, menunjukkan masker oksigen tergantung di langit-langit kabin.Pesawat diperkirakan dalam keadaan baik-baik saja, dan perjalanan dimulai normal setelah semua pemeriksaan rutin.

Namun, hanya 12 menit setelah lepas landas, Kopilot Yutaka Sasaki dan Kapten Pilot Masami Takahama menyadari adanya getaran yang merobek pesawat.

Pesawat jet tersebut mengalami dekompresi dengan cepat, yang menyebabkan langit-langit di dekat kamar mandi belakang runtuh.

Getaran hebat itu merusak badan pesawat secara parah dan menghancurkan penstabil vertikal pesawat serta keempat saluran hidroliknya.

Beberapa saat setelah getaran terdeteksi, udara mengembun menjadi kabut, memaksa masker-masker oksigen turun.

Selama 30 menit yang mengerikan, para pilot berjuang keras untuk mengambil alih kendali pesawat, tetapi pesawat itu berada dalam siklus jatuh dan naik yang ganas dan membingungkan.

Para penumpang berteriak ketika mereka terlempar ke sekeliling pesawat oleh spiral yang cepat, sementara para pilot berjuang untuk membawa pesawat ke tempat yang aman.Namun pesawat yang kehilangan kendali itu terus turun dan semakin dekat ke pegunungan, tempat ia jatuh dan meledak.

Menurut laporan media Jepang, Kapten Takahama melakukan upaya terakhir untuk menjaga pesawat tetap terbang dengan menggunakan daya dorong mesin untuk naik dan turun.

Dia dilaporkan sempat berteriak: "Inilah akhirnya!"

Sekitar 20 menit setelah pesawat jatuh, prajurit Angkatan Udara Amerika Serikat Michael Antonucci melaporkan lokasi kecelakaan.

Pasca-kecelakaan, upaya pencarian dan penyelamatan tertunda, dan korban selamat baru ditemukan beberapa jam kemudian.

Penundaan ini kemungkinan berkontribusi pada tingginya angka kematian, karena beberapa korban yang selamat dari benturan awal meninggal sebelum bantuan tiba.

Pejabat Jepang menunda pengiriman kru penyelamat, dengan asumsi tidak ada yang selamat, dan meminta Antonucci untuk tidak membahas tragedi tersebut.Militer Jepang baru mengirim tim penyelamat keesokan paginya, 12 jam setelah kecelakaan dilaporkan.

Antonucci, yang menjadi salah satu saksi kunci tragedi ini, mengungkapkan satu dekade kemudian: “Empat orang selamat. Lebih banyak lagi yang bisa selamat."

“Saat kejadian, saya diperintahkan untuk tidak membicarakannya," ujarnya.

Seorang dokter yang terlibat dalam misi penyelamatan mengatakan: “Jika penemuan itu terjadi 10 jam lebih awal, kami mungkin bisa menemukan lebih banyak korban selamat.”

Yumi Ochiai, seorang penyintas, mengaku mendengar ratapan penyintas lainnya sepanjang malam, hingga akhirnya mereka merasakan dingin yang menyengat.

Antonucci menambahkan, "Jika tidak ada upaya untuk menghindari mempermalukan otoritas Jepang, tim Marinir AS bisa saja melakukan pencarian puing-puing pesawat kurang dari dua jam setelah kecelakaan."Teka-teki mulai terungkap ketika lebih banyak tim dikirim untuk mengevakuasi badan pesawat dan bagian-bagian pesawat.

Dua tahun kemudian, setelah penyelidikan komprehensif, Komisi Investigasi Kecelakaan Pesawat Jepang menetapkan bahwa dekompresi tersebut disebabkan oleh perbaikan yang gagal oleh pekerja Boeing.

Pesawat yang sama terbentur keras saat mendarat di Bandara Itami pada Juni 1978, menyebabkan kerusakan ekor yang parah.

Benturan tersebut juga memecahkan sekat tekan, sehingga memerlukan perbaikan segera.

Namun, petugas perbaikan Boeing menggunakan dua pelat spice yang sejajar dengan retakan di sekat, alih-alih satu, sehingga pekerjaan perbaikan menjadi sia-sia.

Menurut Ron Schleede, yang dikutip The Sun, Minggu (17/8/2025), anggota Dewan Keselamatan Transportasi Nasional Amerika Serikat, awak pesawat telah melakukan segala yang mereka bisa untuk menghindari bencana yang “tidak dapat dihindari”.

Topik Menarik