Fadli Zon: Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya

Fadli Zon: Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya

Nasional | sindonews | Kamis, 14 Agustus 2025 - 20:42
share

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut Indonesia perlu menemukan kembali identitasnya. Hal itu penting mengingat Indonesia merupakan bangsa yang memiliki budaya yang beragam dan sangat tua.

Fadli Zon mengemukakan hal tersebut dalam forum Great Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru" yang digelar di Golden Ballroom 2, Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Baca juga: Didesak PDIP Setop Proyek Penulisan Ulang Sejarah, Fadli Zon Ingatkan Amanat Bung Karno

Hadir dalam acara tersebut, Sosiolog dan sastrawan Okky Madasari, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddin. Peneliti GREAT Institute Hanief Adrian, pemikir Studia Humanika ITB Alfathri Adlin.

Selain itu, filsuf Muhammad Misbahudin, serta pendiri Ubud Writers and Readers Festival Janet DeNeefe. Diskusi dipandu Khalid Zabidi, Direktur Komunikasi GREAT Institute.

Dalam orasinya, Fadli Zon mengurai kembali sejarah dialektika kebudayaan bangsa ini mulak dari Polemik Kebudayaan 1930-an antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane hingga pertarungan ideologis Manifes Kebudayaan versus Lekra pada 1960-an.

Namun, bagi Fadli, yang terpenting bukanlah menang-menangan. Namun yang utama adalah pergulatan pemikiran itu sendiri.Baca juga: Hidupkan Lagi Lagu Anak, Kementerian Kebudayaan Gelar KILA 2025

"Harus ada reinventing Indonesia’s identity - penemuan ulang jati diri Indonesia,” katanya, seraya menyebut dua karakter utama kebudayaan Indonesia yakni, kekayaan dan ketuaan.

“Budaya kita ini mega-diversity. Bukan sekadar keberagaman, tapi keberlimpahan," ujar Fadli yang mengaku sudah mengelilingi 101 negara.

Menurut Fadli Zon, tak ada yang sekaya Indonesia dalam hal budaya, baik yang tangible maupun intangible. Yang intangible saja tercatat 2.213, sementara baru 16 yang diakui UNESCO mulai dari wayang, batik, keris, sampai jamu dan reog.

Fadli Zon menyinggung Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Namun, justru dalam konteks kebebasan itulah, Fadli menyiratkan kegelisahan. “Budaya kita sangat tua. Tapi kini, narasi kebudayaan justru dibungkam. Padahal, peradaban kita sudah lebih dulu global,” tandasnya.

Mengutip penemuan-penemuan arkeologis, Fadli Zon menyebut Homo erectus Indonesia telah hidup 1,8 juta tahun lalu. Gambar-gambar gua tertua ditemukan di Muna dan Maros, jauh lebih tua dari lukisan gua di Eropa. “Kita ini melting pot sejak dulu kala. Kita bukan tempat tujuan. Tapi tempat keberangkatan,” ujarnya. Hal itu menyiratkan bahwa Nusantara adalah simpul globalisasi purba.

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan membuka acara tersebut dengan kritik bahwa elite di negeri ini tak selamanya membawa bangsa menuju kemerdekaan.

"Elite harus paham budaya. Terutama budaya di wilayah kepemimpinannya sendiri," ujarnya.

Syahganda menyesalkan langkanya diskusi kebudayaan di ruang publik hari ini, apalagi di layar televisi. Padahal, kata dia, jika pembicaraan soal budaya berhenti, kita bisa kehilangan nilai keadaban itu sendiri.

Syahganda menyoroti kegagalan struktur memahami kultur, merujuk pada kasus Pati yang kini menghebohkan.

"Struktur menaikkan PBB seenaknya, tanpa memahami kultur masyarakat yang sedang menjerit karena tekanan ekonomi. Maka terjungkallah bupati,” katanya dengan nada getir.

Sosiolog dan sastrawan yang kini mengajar di National University of Singapore Okky Madasari berbicara lugas dan tajam. Okky mengajak semua pihak menengok wajah manusia Indonesia hari ini, khususnya generasi muda. “Mereka itu kosmopolitan, kreatif, dan resisten. Mereka bukan sekadar pengguna budaya global, tapi juga penantang,” katanya.

Okky menegaskan, sejarah kebudayaan bangsa ini selalu diawali oleh perlawanan terhadap model dominan. “Sutan Takdir, Hamzah Fansuri, para pelopor itu melakukan perlawanan atas dominasi wacana,” ujarnya.

Karena itu, Okky mendukung langkah menulis ulang sejarah Indonesia. Tapi dengan satu syarat penulisan sejarah harus melibatkan publik, akademisi, sastrawan, bukan hanya pemerintah. Harus ada forum bersama.

"Yang lebih penting adalah kebebasan berbicara dan berkebudayaan. Jangan ada pembungkaman. Jangan ada narasi tunggal,” katanya, menyuarakan kegalauan banyak kalangan yang merasa ruang-ruang kritik semakin sempit.

Pemikir Studia Humanika ITB Alfathri menyebut pendidikan kini sekadar mencetak tukang dari sudut pemikiran filosofis. Alfathri memulai dengan mengutip Hegel bahwa Masyarakat dan pemerintah tak pernah belajar dari sejarah. Mereka terus mengulang kesalahan yang sama.

Alfathri menyentil konsep white man’s burden yang menjadi justifikasi kolonialisme, sekaligus menyalahkan sistem pendidikan hari ini yang masih menurunkan warisan barat secara membabi buta.

“Pendidikan kita hanya mencetak tukang. Bukan pencinta ilmu. Padahal, menurut Islam, setiap orang diciptakan dengan tujuan khusus,” ujarnya, menyiratkan perlunya visi pendidikan berbasis nilai-nilai yang lebih dalam dari sekadar kurikulum teknokratik.Peneliti GREAT Institute Hanief Adrian memperkuat argumen Fadli tentang kebesaran masa lalu bangsa ini. Hanief mengutip catatan sejarah tentang Sriwijaya yang dikenal sebagai Zabazh di Afrika.

“Zabazh memperkenalkan budaya emas ke Afrika, yang lalu dinikmati Eropa dan Arab. Tapi budaya emas itu datang dari Swarna Dwipa—Sumatera,” ujarnya.

Menurut Hanief, Indonesia butuh keberanian untuk mengklaim sejarahnya sendiri. “Kalau kita tak menulisnya, orang lain akan menulis versi mereka, dan kita tinggal jadi objek,” katanya.

Indonesia, seperti yang digambarkan oleh mereka adalah negeri yang mewarisi suara dari gua-gua purba, yang pernah menjadi pusat dunia, namun kini nyaris kehilangan panggung untuk berdialektika.

"Kita butuh kebudayaan yang hidup, bukan yang dibekukan dalam museum atau dijadikan sekadar dekorasi festival. Butuh pemimpin yang mengerti kultur, bukan hanya struktur. Butuh ruang bagi keragaman suara, bukan hanya pengeras narasi tunggal," katanya.

"Kebenaran tidak pernah dimonopoli oleh satu suara," ujar Okky.

Seperti kata Imam Ali bin Abi Thalib, "Seseorang yang tidak mengetahui sejarahnya, maka ia akan tersesat dalam perjalanan hidupnya."

Topik Menarik