Menuju Pendidikan Digital Berkualitas, Guru Jadi Kunci Keberhasilan
Indonesia tengah berakselerasi menuju transformasi pendidikan digital. Perangkat berbasis AI, aplikasi interaktif, hingga smart classroom mulai menghiasi ruang-ruang belajar dari Sabang hingga Merauke.
Pemerintah telah mengalokasikan lebih dari Rp4,8 triliun untuk infrastruktur digital—mulai dari pengadaan laptop, tablet, hingga perluasan internet ke lebih dari 12.000 sekolah. Sektor swasta pun tak mau ketinggalan, dengan lebih dari 100 startup EdTech yang tumbuh pesat.
Baca juga: Profil Alya Zahra Khalisah, Paskibraka Nasional Asal SMAN 1 Bangkinang Kota Riau
Namun, Jaspal Sidhu, Founder dan Chairman Singapore Intercultural School (SIS) serta Inspirasi Group of Schools, mengingatkan bahwa transformasi pendidikan bukan sekadar urusan teknologi.
“Teknologi secanggih apa pun tidak akan mampu menggantikan sentuhan manusia yang diberikan guru dalam proses belajar. Sebelum kita mendigitalisasi kelas, kita harus memanusiakannya,” ujarnya."Ada satu hal yang sering dilupakan, koneksi manusia antara guru dan siswa. Tanpa itu, teknologi hanya akan menjadi layar dingin tanpa makna," tambahnya.
Baca juga: Kisah Rischa Sebayang, dari Penerima Beasiswa hingga Jadi Data Analyst dan Mentor Muda
Euforia digital kerap membuat kita lupa pada fakta lapangan. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara dalam membaca, matematika, dan sains. Di kota tingkat dua dan tiga, ruang kelas padat, konektivitas terbatas, dan pelatihan guru minim.
“Masalah utama kita bukan technology gap, tapi skills gap. Guru yang tidak memiliki keterampilan membangun koneksi emosional dan pedagogis dengan siswa akan kesulitan memanfaatkan teknologi secara optimal,” tegas Jaspal Sidhu.
Pengalaman Sidhu di SIS dan Inspirasi Group menunjukkan bahwa koneksi antara guru dan murid selalu datang sebelum konten. Guru yang memahami, menghargai, dan memotivasi murid akan menumbuhkan rasa ingin tahu—bahkan tanpa perangkat canggih sekalipun.Itulah mengapa, bersama Deloitte, SIS mengembangkan EFFECTOR Model, yang merangkum delapan atribut guru efektif:
1.Earnestness (Ketulusan), 2. Humour (Humor), 3. Firmness (Ketegasan), 4. Enthusiasm (Antusiasme), 5. Consistency (Konsistensi), 6. Timeliness (Ketepatan Waktu), 7. Open-mindedness (Keterbukaan Pikiran), dan 8. Research-mindedness (Berpikir Berbasis Riset)
“Ketika guru memiliki atribut EFFECTOR, teknologi menjadi alat penguat interaksi dan kreativitas di kelas. Kelas berubah menjadi komunitas belajar yang hidup. Tanpa itu, perangkat digital justru bisa menciptakan jarak,” jelasnya.
Jaspal Sidhu mengibaratkan fenomena ini seperti keluarga yang duduk bersama di meja makan, namun sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Secara fisik bersama, tapi koneksi emosional hilang. Begitu pula di kelas: jika guru tidak membangun kedekatan, teknologi akan menjadi dinding pemisah, bukan jembatan,” katanya.Di wilayah rural dan semi-perkotaan, keterbatasan internet, minimnya sumber daya pendukung, dan jarangnya pelatihan berkelanjutan membuat guru semakin tertinggal. “Kita tidak bisa hanya menaruh perangkat di meja siswa lalu berharap keajaiban terjadi,” ujar Sidhu.
“Latih gurunya dulu—bukan hanya dalam penggunaan teknologi, tapi dalam seni membangun hubungan, mengelola kelas, dan memotivasi siswa.”
Jaspal Sidhu mengajak pemerintah, pemimpin sekolah, dan mitra industri untuk menempatkan pelatihan guru sebagai prioritas utama dalam roadmap pendidikan digital nasional.
“Kita harus menghindari jebakan berpikir bahwa ‘kelas digital’ otomatis berarti ‘pendidikan berkualitas’. Pendidikan sejati lahir dari interaksi yang penuh empati, rasa saling percaya, dan koneksi tulus antara guru dan siswa,” pungkasnya.










