Babak Baru Tambak Udang Rakyat: Mampukah Aquarev Jadi Jawaban Tanpa Mengulang Dosa Startup Raksasa?

Babak Baru Tambak Udang Rakyat: Mampukah Aquarev Jadi Jawaban Tanpa Mengulang Dosa Startup Raksasa?

Teknologi | sindonews | Sabtu, 19 Juli 2025 - 09:03
share

Indonesia adalah raksasa udang dunia, namun di balik gelar itu, tersembunyi ironi. Tulang punggung industri ini, para petambak kecil, justru seringkali menjadi yang paling tertinggal. Lebih dari 82 tambak udang di negeri ini masih dikelola secara tradisional, dengan produktivitas rendah dan dampak lingkungan yang merusak, seperti pembabatan hutan bakau dan pencemaran air.

Di tengah potret buram ini, muncullah inisiatif bernama Aquarev. Bukan sekadar perusahaan teknologi, mereka mengusung label perusahaan sosial dengan sebuah janji yang ambisius: membangun ekosistem akuakultur yang modern, adil, dan ramah lingkungan.

Namun, di tengah gelombang startup teknologi yang menjanjikan solusi instan, banyak yang bertanya-tanya: mampukah Aquarev menjadi jawaban sejati bagi petambak kecil, atau akankah ia terjerumus menjadi "eFishery jilid dua"—sebuah raksasa teknologi yang sukses secara valuasi, namun mungkin meninggalkan sebagian misi sosialnya demi mengejar pertumbuhan eksponensial?

Bukan Sekadar Aplikasi: Resep 'Gotong Royong' ala Aquarev

Yang membedakan Aquarev dari banyak startup agritech lain adalah pendekatannya yang tidak melulu soal teknologi. Mereka tidak datang hanya dengan aplikasi canggih, melainkan dengan sebuah resep "gotong royong" modern yang menyentuh akar masalah.

"Model yang ditawarkan Aquarev berbasis pendekatan komunitas," ujar Retno Nuraini, Head of Partnerships Aquarev. "Setiap kelompok petambak didampingi melalui sistem klaster dan mekanisme pembagian risiko (risk sharing), di mana tantangan budidaya dihadapi secara kolektif."Ini adalah perbedaan fundamental. Alih-alih membiarkan petambak berjuang sendiri, Aquarev membangun sistem di mana keberhasilan dan kegagalan ditanggung bersama. Mereka turun langsung melakukan renovasi tambak, memberikan pendampingan teknis di lapangan, dan baru kemudian melapisi semuanya dengan teknologi pemantauan digital dan transparansi rantai pasok.

Aspek lingkungan juga tidak ditinggalkan. Mereka secara aktif merehabilitasi kawasan mangrove, sebuah langkah yang seringkali diabaikan dalam model bisnis yang hanya mengejar profit.

Kisah dari Pesisir Pasangkayu: Dari Nol Menjadi Puluhan Ton

Janji manis ini mulai menunjukkan bukti nyata di pesisir Pasangkayu, Sulawesi Barat. Di sana, seorang petambak veteran, H. Siala, dan putranya, Muchtar, merasakan langsung dampak model Aquarev. Muchtar, yang awalnya tak punya pengalaman di dunia tambak, kembali ke kampung halaman dan belajar dari nol.

"Saya belajar bahwa tambak udang bukan hanya soal teknis, tetapi soal membangun kepercayaan dan kerja sama erat dengan tim di lapangan,” ujar Muchtar, menggarisbawahi pentingnya sentuhan manusia dalam model ini.

Hasilnya? Sangat konkret. Tambak mereka kini mampu mencatatkan produktivitas rata-rata 38,5 ton per hektare. Hingga akhir Juli ini, total panen dari satu siklus saja diproyeksikan akan menembus lebih dari 43 ton udang. Angka yang dulunya hanya mimpi bagi banyak petambak tradisional. Tak hanya itu, mereka kini tak perlu pusing mencari pembeli, karena hasil panen berkualitas tinggi mereka sudah ditunggu pasar dengan harga yang lebih baik.

Tantangan di Depan: Menjaga 'Roh' di Tengah Ambisi Pertumbuhan

Kisah sukses di Pasangkayu adalah bukti konsep yang kuat. Namun, tantangan terbesar bagi Aquarev baru akan dimulai saat mereka mencoba mereplikasi sukses ini dalam skala nasional di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.

Pendekatan "gotong royong" dan pendampingan teknis yang intensif membutuhkan sumber daya manusia yang besar dan biaya yang tidak sedikit. Mampukah mereka menjaga kualitas pendampingan yang personal ini seiring dengan pertumbuhan perusahaan? Mampukah model bagi risiko mereka bertahan dari gempuran wabah penyakit skala besar atau fluktuasi harga pasar yang ekstrem?

Inilah pertaruhan Aquarev. Mereka harus membuktikan bahwa sebuah bisnis bisa tumbuh besar tanpa harus kehilangan "roh" sosialnya.

"Kami percaya bahwa keberhasilan tambak tidak cukup diukur dari produktivitas panen saja," tutup Retno.

"Keberhasilan yang sesungguhnya adalah ketika para petambak bisa mandiri, lingkungan tetap terjaga, dan budidaya menjadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan bagi komunitaslokal."

Topik Menarik