Ketindihan saat Tidur Bukan Mistis, Ini Penjelasan Medis dan Cara Mengatasinya
Fenomena “ketindihan” saat tidur kerap dikaitkan dengan hal mistis atau supranatural. Namun, dalam dunia kedokteran, kondisi ini dikenal sebagai sleep paralysis atau kelumpuhan tidur, dan memiliki penjelasan ilmiah yang logis.
Hal tersebut disampaikan oleh dr Yeni Quinta Mondiani, SpN, pakar neurologi sekaligus dosen Fakultas Kedokteran IPB University.
Yeni menjelaskan bahwa tidur adalah proses fisiologis yang terjadi berulang, ditandai dengan turunnya tingkat kesadaran secara sementara. "Selama tidur, kemampuan kognitif seseorang mengalami penurunan sehingga otak tidak sepenuhnya merespons rangsangan dari luar," ujarnya, melansir siaran pers, Kamis (17/7/2025).
Baca juga: Jangan Berlebihan, Konsumsi Kafein Bikin Susah Tidur!
Lagi Viral Gen ZTaiwan Jalan Menunduk seperti Budaya Indonesia, Netizen: Beneran Apa Ngejek?
Ia memaparkan bahwa siklus tidur manusia terdiri dari lima tahap, yakni empat fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan satu fase Rapid Eye Movement (REM). Kelima tahapan ini bisa berlangsung berulang kali selama seseorang tidur.“Fase 3 dan 4 dari NREM merupakan tahap tidur terdalam. Tahap ini penting untuk mengembalikan energi tubuh dan memperbaiki kondisi fisik setelah seharian beraktivitas,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa fase dalam ini memiliki ambang terjaga yang tinggi dan sering kali berkaitan dengan gangguan tidur seperti berjalan saat tidur (sleep walking) dan teror malam (sleep terror).
Baca juga: Berapa Lama Waktu Tidur Terbaik? Lebih dari 8 Jam Dikaitkan dengan Risiko Kematian
Sedangkan pada fase REM, otak cenderung aktif dan mimpi biasanya terjadi di tahap ini. "Pada fase REM terdapat hambatan kuat pada sinyal motorik tubuh. Karena itu, pergerakan tubuh sangat terbatas di fase ini," tambahnya.
Apa Itu Sleep Paralysis?
Menurut Yeni, sleep paralysis merupakan salah satu bentuk gangguan tidur yang tergolong dalam parasomnia. "Parasomnia adalah gangguan tidur yang terjadi saat transisi antara terjaga dan tidur, tanpa mengganggu kualitas atau durasi tidur itu sendiri," jelasnya.Ia mendefinisikan sleep paralysis sebagai kondisi tidak mampu menggerakkan tubuh saat akan tidur atau sesaat setelah bangun, meski kesadaran sudah kembali. “Sederhananya, otak sudah sadar, tapi tubuh masih dalam kondisi tidur,” ungkap dr Yeni.Baca juga: Hidung Mampet saat Tidur? Jangan Sepelekan, Ini Tips dari Instan Plong Bisa Pulas
Gangguan ini biasanya terjadi saat fase REM, di mana otot tubuh tidak bisa bergerak meskipun aktivitas otak sudah aktif. “Dalam istilah lain, tubuh masih ‘sleep mode’ sementara otak sudah terbangun,” tambahnya.
Penyebab dan Gejala Sleep Paralysis
Yeni menjelaskan bahwa sleep paralysis umumnya mulai muncul pada usia 15–35 tahun. Kondisi ini bisa terjadi secara acak dan dipicu oleh kurang tidur, stres berat, gangguan kecemasan, faktor genetik, serta penyakit seperti narkolepsi.“Penderita umumnya tertidur dalam posisi telentang dan merasa tak bisa bergerak, meskipun pernapasan dan detak jantung tetap berjalan normal. Satu episode biasanya berlangsung beberapa detik hingga menit,” paparnya.
Selama episode berlangsung, kesadaran tetap terjaga, namun sering disertai perasaan takut. Meski demikian, ada juga individu yang merasa tenang saat mengalaminya.
Gejala lain yang mungkin muncul termasuk halusinasi, terutama bila dipicu oleh narkolepsi. "Kondisi ini bisa menimbulkan rasa takut yang cukup intens. Namun, biasanya episode ini akan berakhir dengan sendirinya," imbuhnya.
Cara Mengatasi dan Mencegah Sleep Paralysis
Yeni menyarankan penanganan utama dengan memperbaiki pola hidup, terutama kebiasaan tidur. Hal ini mencakup pengaturan jadwal tidur dan bangun yang konsisten, menghindari konsumsi kafein dan makanan tinggi lemak, serta menerapkan prinsip sleep hygiene.“Disarankan juga untuk melakukan olahraga ringan dan menata ulang penggunaan perangkat elektronik di sekitar tempat tidur,” sarannya.
Jika gangguan ini mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, ia menganjurkan agar penderita segera berkonsultasi ke dokter. “Penting untuk berkonsultasi ke spesialis guna mendapatkan pengobatan, seperti antidepresan, serta penanganan terhadap penyakit dasar seperti narkolepsi,” pungkasnya.










