Bulog dan Problem Kesuksesan
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)
Hari-hari ini Bulog menuai pujian dari banyak pihak. Tak hanya dari pengamat, petani, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menko Pangan Zulkifli Hasan, tetapi juga dari Presiden Prabowo Subianto. Salah satu pujian yang menyesaki ruang publik sejak beberapa bulan lalu adalah “kesuksesan” BUMN pangan ini dalam menyerap gabah/beras petani domestik.
Per 10 Juli 2025, stok beras di gudang Bulog mencapai 4,3 juta ton. Dari jumlah itu, 2,69 juta ton hasil serapan tahun ini. Sisanya luncuran stok akhir 2024. Menurut Menteri Amran, stok beras Bulog lebih 4 juta ton merupakan rekor tertinggi dalam 57 tahun terakhir.
Selain mencetak rekor stok cadangan beras pemerintah (CBP) tertinggi selama Januari–Mei, klaim Amran, data historis menunjukkan lonjakan stok tahun 2025 juga tercatat sebagai yang tercepat sepanjang sejarah. Dari 1,7 juta ton pada Januari 2025, stok CBP melonjak drastis menjadi 3,5 juta ton per 4 Mei 2025 atau meningkat 1,8 juta ton tanpa impor dalam empat bulan.
Capaian ini tak lepas dari kinerja produksi yang Januari-Juni 2025 ditaksir 18,76 juta ton beras, terbesar 7 tahun terakhir. Rekor kian lengkap setelah United States Department of Agriculture dan FAO memperkirakan produksi beras Indonesia tahun ini masing-masing mencapai 34,6 juta ton dan 35,6 juta ton. Ini menempatkan Indonesia sebagai produsen beras terbesar di kawasan ASEAN. Pemerintah mengklaim capaian ini tak lepas dari kebijakan Presiden Prabowo yang mencakup peningkatan kuota pupuk bersubsidi hingga 100, reformasi sistem distribusi pupuk, dan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) petani untuk semua kualitas: Rp6.500/kg. Ini memberi insentif menarik.
“Prestasi” dan “kesuksesan” itu membuat Bulog kewalahan. Padahal, Bulog adalah perusahaan logistik dan rantai pasok pangan yang amat besar: punya 26 pimpinan wilayah, 101 cabang, 474 kompleks gudang dengan 1.545 unit berkapasitas lebih 3,8 juta ton, 10 penggilingan padi, 7 rice to rice, 2 unit corn drying center, 4.250 pegawai, dan terhubung secara digital (meski belum penuh).
Di Indonesia tidak ada korporasi (swasta dan BUMN) yang punya kapasitas sebesar Bulog. Karena penuh Bulog harus menyewa tambahan gudang berkapasitas 1,4 juta ton, selain bikin gudang improvisasi. Masalahnya, tanpa banyak diketahui publik, aneka capaian ini telah memunculkan problem of succes bagi Bulog sebagai pengelola CBP.
Pertama, problem kualitas gabah. Masalah muncul setelah pemerintah mengubah drastis kualitas pengadaaan gabah Bulog: dari ada syarat kualitas tanpa syarat kualitas. Implikasinya, gabah buruk (kadar air > 35, butir hijau/kapur >20) karena terendam air atau padi dipanen dini harus dibeli sama dengan harga gabah yang baik (kadar air dan butir hijau maksimal 25 dan 10). Selain tidak mendidik petani, ini berimplikasi pada ketidakpastian rendemen.
Kedua, dampak ikutan dari kualitas gabah rendah, rendemen giling bisa rendah: 40-45. Di lapangan potensial muncul praktik: gabah bagus diserap penggilingan dan pedagang (swasta), gabah buruk disetor ke Bulog. Tengkulak/penebas bisa saja membeli gabah kualitas buruk milik petani di bawah Rp6.000/kg, tapi dijual ke Bulog Rp6.500/kg. Ini membuat biaya produksi beras amat tinggi, bisa Rp14.000/kg, bahkan lebih Rp14.500/kg. Karena terjadi penurunan kuantitas dan kualitas beras hasil giling. Sistem maklon atau jual jasa antara penggilingan dan Bulog juga biang harga tinggi.
Ketiga, dampak ikutan penurunan kuantitas dan kualitas beras hasil giling, biaya mengelola/menyimpan stok jadi mahal dan penetrasi pasar saat penyaluran beras Bulog akan rendah. Penetrasi pasar rendah selain karena harganya tidak kompetitif, kualitas pengadaan beras Bulog juga turun: jadi derajat sosoh minimal 95 dan butir patah maksimal 25.
Ini membuat kemampuan beras Bulog dalam memengaruhi harga kian terbatas. Bagi konsumen, mereka merasa terjadi degradasi kualitas beras Bulog: dari kualitas premium (derajat sosoh 100, butir patah maksimal 5) ke kualitas medium. Ini berkebalikan dari kondisi dua tahun terakhir.
Penetrasi pasar beras 2023-2024 baik selain karena berkualitas premium, juga harga pokok beras Bulog (HPB) di bawah pasar umum. Pada 2023 HPB hanya Rp11.470/kg, sedangkan di pasar umum Rp10.378-Rp12.976/kg. Pada 2024 HPB sekitar Rp12.348/kg, sementara beras di pasar umum Rp13.408-Rp13.597/kg.
HPB 2 tahun terakhir rendah dari pasar umum karena ada impor beras untuk Bulog. Harga beras impor selain relatif murah juga berkualitas premium. Bagaimana Bulog menjaga ekspektasi konsumen atas kualitas beras? Ini tak mudah. Penetrasi bisa membaik bila harga beras dijual di bawah harga pasar. Ini perlu subsidi.Keempat, sulitnya menyalurkan beras Bulog dalam jumlah besar. Dengan stok 4,3 juta ton, Bulog harus melepas 3,1 juta ton agar stok beras akhir 2025 mencapai 1,2 juta ton. Dibagi 6 bulan tersisa berarti Bulog harus menyalurkan lebih 500 ribu ton beras/bulan.
Di tengah pasar yang lesu karena daya beli warga kempis, sementara panen diperkirakan lumintu tiap bulan sampai akhir tahun karena kemarau basah saat ini, tentu tak mudah melepas beras ke pasar dalam jumlah besar. Outlet yang sudah pasti baru 366 ribu ton beras untuk bantuan pangan. Outlet operasi pasar SPHP amat tergantung pasar.
Kelima, beban finansial Bulog yang berat. Triwulan I-2025 BULOG merugi Rp1,4 triliun. Ini terjadi karena Bulog terus menyerap gabah/beras petani, sementara penyaluran (untuk operasi pasar dan bantuan pangan) disetop. Ini menyalahi konsep stabilisasi. Penghentian penyaluran membuat harga beras cenderung naik.
Bahkan harga beras medium dan premium berbulan-bulan di atas harga eceran tertinggi (HET). Bukankah harga beras nangkring di atas HET di tengah stok tinggi adalah hal absurd? Kenaikan harga beras membuat akses warga, terutama yang miskin, terganggu. Selain itu, semakin lama penyetopan penyaluran beras finansial Bulog akan kian berdarah-darah.
Uraian di atas hendak menegaskan satu hal: di tengah klaim aneka “prestasi” dan “sukses” oleh pemerintah ada efek domino yang dipikul Bulog dan masyarakat. Bagi Bulog, bisa saja ongkos itu diganti melalui mekanisme APBN. Akan tetapi di saat ruang fiskal terbatas dan kantong pemerintah amat cekak, kebijakan berbiaya mahal ini seharusnya dihindari.
Bagi masyarakat, merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras di tengah daya beli yang turun dan stok beras melimpah tentu tidak adil. Pada tempatnya bagi pemerintah untuk meracik ulang kebijakan yang adil, bukan mengejar prestasi semu.










