Melamar Lewat Chat, Bolehkah? Bagaimana Hukumnya?
Bolehkah melamar(meng-khitbah) seorang gadis melalui chat atau pesan di ponsel? Bagaimana hukumnya dalam Islam? Beberapa kejadian di atas memang banyak terjadi di era digital saat ini. Dan kondisi tersebut tidak ditemukan peristiwa yang sama di zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, sahabat, bahkan hingga di zaman tabi'in.
Artinya, banyak persoalan fikih di era sekarang yang tidak ada rujukan di jaman Nabi SAW dan sahabat. Karena itu, untuk memberikan kepastian hukummnya, para ulama masa kini menyandarkan pada kaidah fikih untuk menetapkan hukum atas amaliah atau kejadian saat ini. Kondisi ini ada yang menyebut sebagai fikih kontemporer.
Salah satu yang terjadi di masa kini adalah melamar atau meng-khitbahmelalui chatting, media SMS atau Whatsapp seperti pertanyaan di atas. Akan tetapi masalah kontemporer seperti ini harus bisa dijelaskan secara fikih Islam.
Menurut Ustad M Shiddiq, mengkhitbah atau melamar lewat melalui chatting dibolehkan. Mengkhitbah lewat tulisan atau kitabah disebutkan secara syar'i adalah sama dengan khitbah lewat ucapan.Kaidah fiqih menyatakan :
اَلْكِتَابَةُ كَالْخِطَابِ
“Al-Kitabah ka al-khithab.” (tulisan itu kedudukannya sama dengan ucapan/lisan). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, 2/860).
Kaidah itu berarti bahwa suatu pernyataan, akad, perjanjian, dan semisalnya, yang berbentuk tulisan (kitabah) kekuatan hukumnya sama dengan apa yang diucapkan dengan lisan (khithab). Penerapan kaidah fikih tersebut di masa modern ini banyak sekali. Misalnya surat kwitansi, cek, dokumen akad, surat perjanjian, dan sebagainya. Termasuk juga "bukti/dokumen tertulis" (al-bayyinah al-khaththiyah) yang dibicarakan dalam Hukum Acara Islam, sebagai bukti yang sah dalam peradilan. (Ahmad Ad-Da'ur, Ahkam Al-Bayyinat, hal. 71; Asymuni Abdurrahman, Qawa'id Fiqhiyyah, hal. 52). Dalil kaidah fikih tersebut, antara lain, adanya irsyad atau petunjuk Allah SWT agar melakukan pencatatan dalam muamalah yang tidak tunai dalam utang piutang. Ini tertuang dalam Surat Al-Baqarah [2] : 282.
Demikian pula dalam dakwahnya, selain menggunakan lisan, Rasulullah SAW juga terbukti telah menggunakan surat. Referensinya ditulis oleh Kholid Sayyid Ali, Surat-Surat Nabi Muhammad, Jakarta : GIP, 2000. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan lisan.Jadi, seorang ikhwan (pria) boleh hukumnya mengkhitbah seorang akhwat (wanita) lewat chatting, dengan SMS atau media sosial seperti WA berdasarkan kaidah fikih tersebut.
Baca juga:Apakah Wanita Boleh Melamar Pria dalam Islam?
Hanya saja, yang perlu dicatat, wanita atau akhwat yang boleh dikhitbah itu secara syar'i memang boleh dikhitbah. Yaitu, perempuan tersebut haruslah : (1) bukan perempuan yang haram untuk dinikahi; (2) bukan perempuan yang sedang menjalani masa 'iddah; dan (3) bukan perempuan yang sudah dikhitbah oleh laki-laki lain dan diterima oleh akhwat itu. (Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham Al- Ijtima’i fi Al-Islam, hlm. 119 ; Nada Abu Ahmad, Al-Khitbah Ahkam wa Adab, hal. 5).
Adapun mengenai batas waktu khitbah, yaitu jarak waktu khitbah dan nikah, sejauh pengetahuan kami, tidak ada satu nash pun baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah yang menetapkannya. Baik tempo minimal maupun maksimal. (Yahya Abdurrahman, Risalah Khitbah, hal. 77).
Dengan demikian, boleh saja jarak waktu antara khitbah dan nikah hanya beberapa saat, katakanlah beberapa menit saja. Boleh pula jarak waktunya sampai hitungan bulan atau tahun. Semuanya dibolehkan, selama jarak waktu tersebut disepakati pihak laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
والمسلمونَ على شُروطهِم إلاَّ شَرطاً حرَّمَ حَلالاً أو أحلَّ حراماً
"Dan kaum muslimin [bermu'amalah] sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram." (HR Abu Dawud no 3594 & Tirmidzi no 1363). (Imam Ash-Shan'ani, Subulus Salam, 3/59).
Namun pendapat yang paling baik adalah semakin cepat menikah tentu semakin baik. Sebab jarak yang lama antara khitbah dan nikah dapat menimbulkan keraguan. Yakni mengenai keseriusan kedua pihak yang akan menikah, juga keraguan apakah keduanya dapat terus menjaga diri dari kemaksiatan seperti khalwat dan sebagainya. Tapi keraguan semacam itu sudah sepatutnya dihilangkan, sesuai sabda Rasulullah SAW:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يُرِيْبُكَ"Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang tidak meragukanmu." (HR Tirmidzi no 2637 & Ahmad).
Baca juga:Bagaimana Hukum Mengembalikan atau Meminta Kembali Barang Seserahan karena Batal Nikah?
Wallahu a'lam.










