Apa Itu Gaza Riviera, Impian Resor Mewah di Atas Reruntuhan Gaza

Apa Itu Gaza Riviera, Impian Resor Mewah di Atas Reruntuhan Gaza

Global | sindonews | Kamis, 10 Juli 2025 - 13:55
share

Bayangkan sebuah pantai Mediterania berpasir putih, penuh hotel mewah, pelabuhan kapal pesiar, dan kafe bergaya Eropa—semuanya terletak di Jalur Gaza, Palestina. Ya, Jalur Gaza yang saat ini hancur dibombardir militer Israel.

Wilayah kantong Palestina ini selama lebih dari satu dekade dilanda blokade Israel, kemudian dilanda perang, dan krisis kemanusiaan.

Impian pantai mewah di atas reruntuhan Jalur Gaza tersebut pernah dicetuskan dalam gagasan kontroversial bernama “Gaza Riviera.” Namun, di balik gemerlap konsep ini, tersimpan ironi mendalam dan pertarungan wacana global yang belum usai.

Baca Juga: Video Gaza Jadi Pantai Mewah Milik Donald Trump dengan Patung Emasnya Dicap Kolonial Rasis

Apa Itu Gaza Riviera?

“Gaza Riviera” bukanlah nama resmi proyek pemerintah Palestina, Israel, atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Istilah ini muncul secara satiris dan simbolis untuk menyebut gagasan menjadikan pesisir Gaza—yang membentang sekitar 40 km di tepi Laut Mediterania—sebagai pusat wisata mewah ala French Riviera di Prancis atau pun Riviera di Italia.Namun, popularitas istilah ini meningkat pesat sejak muncul dalam konteks “Deal of the Century [Kesepakatan Abad Ini]”—rencana perdamaian Timur Tengah yang diluncurkan oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Januari 2020.

Dalam dokumen rencana Trump itu, terdapat bagian ekonomi yang secara eksplisit membayangkan Gaza sebagai kawasan investasi dan pembangunan, lengkap dengan hotel, pelabuhan, pembangkit listrik, dan infrastruktur kelas dunia.

Trump dan “Kesepakatan Abad Ini”: Utopia Ekonomi atau Ilusi Politik?

Dalam visi “Peace to Prosperity”, Trump dan menantunya; Jared Kushner, menjanjikan lebih dari USD50 miliar investasi internasional, sebagian besar dialokasikan ke Tepi Barat dan Jalur Gaza.

“Dengan pembangunan yang tepat, Gaza bisa menjadi seperti Singapura atau Dubai di Mediterania,” bunyi salah satu bagian rencana itu.

Namun, janji investasi tersebut bukan tanpa syarat. Palestina diminta menyerahkan beberapa tuntutan mendasar, termasuk hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah asal mereka, kedaulatan penuh atas Yerusalem Timur, dan pembentukan Negara Palestina dengan kontrol militer dan perbatasan.Hal ini membuat banyak pihak menyebut gagasan “Gaza Riviera” bukan sebagai solusi damai, melainkan upaya membeli Palestina dengan uang, sambil tetap menjaga dominasi Israel atas wilayah strategis tersebut.

Realitas Gaza, dari Blokade hingga Bom Fosfor Israel

Gagasan “resor mewah” di Gaza segera ditanggapi dengan gelombang kritik internasional. Kenyataan di lapangan sangat jauh dari narasi pembangunan tersebut.

Menurut laporan PBB dan Human Rights Watch, sekitar 2 juta penduduk Gaza hidup dalam kondisi nyaris tidak manusiawi, angka pengangguran melonjak, 80 persen warga Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan, dan infrastruktur rusak parah akibat perang berulang kali dengan Israel, termasuk invasi darat dan serangan udara pada 2008, 2014, hingga 2023.

Listrik di Gaza hanya menyala rata-rata 3-4 jam per hari, sistem sanitasi kolaps, dan air bersih sulit diperoleh. Bagaimana mungkin sebuah "riviera" dibangun di atas reruntuhan seperti ini?

Ironisnya, sejumlah influencer pro-Israel sempat menyebarkan gambar rekayasa pantai Gaza yang tampak bersih, anak-anak bermain bola, dan restoran di tepi laut. Narasi ini digunakan untuk membantah bahwa Gaza dalam krisis, dengan retorika semacam: “Kalau Gaza begitu miskin, mengapa mereka punya restoran mewah di tepi pantai?”Namun, analis media menilai ini sebagai propaganda visual yang terputus dari konteks. Foto-foto tersebut menggambarkan segmen kecil dan terbatas dari wilayah Gaza yang sesekali dibuka untuk umum—dan bahkan itu pun di bawah pengawasan ketat.

“Gaza Riviera” lebih cocok disebut sebagai proyek ilusi daripada visi masa depan. Ia adalah simbol dari kegagalan komunitas internasional memahami bahwa penderitaan di Gaza bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan politik dan hak asasi.

Sebagai istilah, “Gaza Riviera” adalah lelucon pahit—semacam mimpi pantai surgawi yang dijual dengan brosur penuh warna, namun berdiri di atas puing-puing, tangis anak-anak, dan blokade tak berujung.

Topik Menarik