Perusakan Rumah Singgah Sukabumi Tindakan Intoleran dan Melanggar Hukum
Perusakan rumah singgah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat lebih dari sekadar pelanggaran hukum. Peristiwa tersebut menjadi bukti sebagian masyarakat Indonesia kini tumbuh dalam kebencian, hidup dalam ketakutan akan perbedaan, dan kehilangan keberanian untuk memahami.
Ketua Gibranku Jawa Barat Marshall menyebut, insiden ini sebagai cermin retak dari masyarakat yang gagal menjadi dewasa dalam berbangsa dan beragama.
“Kita sedang melihat masyarakat yang sakit yang lebih percaya pada amarah ketimbang empati, yang lebih cepat menuding daripada mendengar, dan yang lebih senang merusak daripada memahami,” ujarnya, Jumat (4/7/2025).
Baca juga: Polisi Tetapkan 7 Tersangka Perusakan Vila Tempat Retret di Cidahu Sukabumi
Marshall menolak mentah-mentah narasi salah paham yang kerap jadi pembelaan. Menurut Marshall, ini adalah tindakan intoleran yang tumbuh dari lingkungan sosial yang membiarkan fanatisme menjelma menjadi kekerasan.“Mereka tahu siapa yang mereka serang. Mereka tahu tempat itu rumah pribadi. Tapi mereka tetap datang, membawa kebencian, dan merusak dengan percaya diri. Ini bukan kebingungan, ini adalah kekerasan ideologis,” tegasnya.
Marshall menyebut yang paling mencemaskan adalah kenyataan pelaku bukanlah kelompok luar atau provokator dari daerah lain. Mereka adalah tetangga, warga desa sendiri, orang-orang yang sehari-hari hidup berdampingan, namun berubah menjadi hakim dan algojo atas dasar perbedaan kepercayaan.
Baca juga: Jusuf Kalla Minta Aparat Usut Tuntas Kasus Perusakan Rumah Tempat Retreat Ibadah di Cidahu Sukabumi
“Yang menggedor pagar itu bukan aparat, bukan ormas besar, tapi masyarakat biasa. Mereka membawa keyakinan iman mereka lebih sah dan karena itu ibadah orang lain harus dihentikan. Ini wajah paling kelam dari intoleransi,” lanjutnya.
Marshall menegaskan, tindakan ini membuktikan masalah utama bukan lagi aturan atau izin rumah ibadah, melainkan watak sosial sebagian warga yang tak mau menerima keberagaman. Menurut Marshall, masyarakat hari ini terlalu sibuk beribadah, tapi lupa bagaimana bersikap adil.Tokoh Muda Sipirok Minta Pemerintah Tetapkan Banjir & Longsor Jadi Status Bencana Nasional
“Apa artinya doa, kalau hati kita penuh benci? Apa gunanya sembahyang, kalau kita merasa pantas mengusir sesama manusia dari rumahnya sendiri hanya karena ia menyanyikan lagu pujian dalam keyakinan yang berbeda,” ucapnya.
Marshall juga menyayangkan bagaimana tindakan ini menciptakan trauma kolektif. Anak-anak yang ketakutan, perempuan yang menangis, dan keluarga yang dihina hanya karena mereka berbeda, semua itu menyisakan luka yang tak bisa ditebus dengan permintaan maaf.
“Jangan biarkan ini menjadi budaya. Jangan biarkan anak-anak tumbuh dengan pelajaran bahwa kekerasan bisa dibenarkan bila dilakukan bersama-sama, apalagi atas nama agama,” katanya.
“Kalau masyarakat masih merasa boleh merusak rumah orang karena ibadahnya berbeda, maka bangsa ini tidak sedang maju, tapi mundur menuju zaman kegelapan,” katanya.










