Perang IranIsrael dan Kematian Hukum Internasional
Abdul Ghoffar HusnanDosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Dewan Pakar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII)
PERANG yang terjadi antara Iran dan Israel bukan sekadar benturan geopolitik. Ia adalah luka terbuka dalam tubuh peradaban internasional yang mengklaim beradab. Ia menganga, berdarah, dan terus menampakkan satu fakta tragis: hukum internasional—yang konon menjadi jaring pengaman umat manusia pasca-Holocaust dan Hiroshima—telah mati, atau setidaknya sekarat.
Kematian ini bukan akibat kurangnya perangkat hukum, tetapi karena hilangnya etika dan ketiadaan kekuatan moral untuk menegakkannya. Dunia ini, dalam istilah Nietzsche, telah “membunuh Tuhan”—yakni membuang sumber otoritas moral tertinggi—dan menggantikannya dengan kekuasaan politik yang menyamar sebagai hukum. Maka tak mengherankan, konflik Iran–Israel justru memperlihatkan bagaimana kekerasan menjadi bentuk tertinggi dari legalitas dalam sistem dunia yang kehilangan sakralitasnya.
Dalam konflik antara Iran dan Israel, kita melihat berbagai bentuk kekerasan: kekerasan negara, kekerasan balasan, kekerasan proksi, kekerasan preventif. Semua itu berputar dalam narasi legitimasi. Iran mengklaim membalas atas pelanggaran wilayah kedaulatan diplomatiknya (serangan terhadap konsulat di Damaskus). Israel menyebut serangan Iran sebagai ancaman eksistensial, dan karenanya layak untuk dibalas.
Baca Juga: Balas Dendam, Iran Serang Pangkalan Udara AS di QatarDalam Leviathan, Thomas Hobbes menyatakan bahwa dalam kondisi tanpa negara dan hukum, manusia hidup dalam “perang semua melawan semua.” Ironisnya, apa yang kita saksikan kini bukanlah kondisi tanpa hukum, tetapi hukum yang sudah menjadi pelayan perang. Negara-negara tidak kehilangan hukum, mereka justru menggunakan hukum sebagai senjata, sebagai legitimasi untuk menyerang dan menghancurkan.
Walter Benjamin (1921) membedakan antara kekerasan yang menciptakan hukum (law-making violence) dan kekerasan yang mempertahankan hukum (law-preserving violence). Israel dan sekutunya, ketika bertindak di luar kerangka hukum yang disepakati bersama, tidak sedang menegakkan hukum, tetapi menciptakan hukum baru dengan kekerasan sebagai fondasinya—yakni “hukum siapa yang menang”.
Kekuasaan dan Ketimpangan Tata Dunia
Dalam hukum internasional, prinsip dasar seperti larangan penggunaan kekuatan Pasal 2 ayat (4) United Nations Charter (Piagam PBB) yang menyatakan “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations” dan hak atas pembelaan diri dalam Pasal 51 yang menyatakan, “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security…," sering dibenturkan satu sama lain. Iran mengklaim pembelaan diri terhadap serangan atas simbol kedaulatannya. Israel, sebaliknya, menyatakan tindakan Iran sebagai agresi yang harus dibalas.Tetapi pertanyaan filosofisnya bukan hanya soal siapa memulai. Pertanyaannya adalah: mengapa hukum hanya efektif bagi sebagian negara? Mengapa negara-negara kuat bisa menciptakan pengecualian atas hukum yang mereka sendiri tanda tangani?Michel Agier (2008) dalam On the Margins of the World: The Refugee Experience Today menyebut dunia modern sebagai dunia yang terbagi dalam zona hukum (legal zones) dan zona eksklusi (zones of exclusion)—di mana yang pertama terlindungi oleh hak dan prosedur, sementara yang kedua, yakni wilayah konflik seperti Gaza, Damaskus, dan Beirut, menjadi ruang kosong hukum (legal void), tempat kekuasaan mentah berlaku tanpa batas.
Amerika Serikat, sebagai hegemon global, memainkan peran sentral dalam menjadikan hukum sebagai alat kontrol, bukan sebagai batasan. Hak Veto yang dimilikinya di Dewan Keamanan telah melumpuhkan PBB menjadi ritual tanpa roh, dan menjadikan “tata dunia” sebagai simulakrum, bukan realitas. Apa yang disebut komunitas internasional sebenarnya adalah minoritas negara-negara adidaya yang menentukan makna hukum berdasarkan kalkulasi kekuasaan.
Kegagalan Etika Hukum Internasional
Konflik ini juga menjadi krisis bagi ius cogens, norma-norma imperatif hukum internasional yang tidak bisa dilanggar. Larangan genosida, agresi, dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah contoh dari norma-norma ini. Namun ketika norma-norma ini diabaikan oleh negara-negara kuat tanpa konsekuensi, maka universalitas hukum tinggal mitos. Jürgen Habermas, dalam konsep “etika diskursus,” menyatakan bahwa legitimasi hukum hanya sah jika ia lahir dari konsensus rasional yang bebas dari dominasi. Tapi dalam sistem internasional, diskursus tidak pernah bebas, dan kekuasaan selalu mengatur siapa yang boleh berbicara, dan siapa yang harus diam.Maka kita hidup dalam post-universalisme, sebuah era di mana tidak ada lagi norma global yang sungguh-sungguh mengikat semua pihak. Yang tersisa hanyalah jaringan kepentingan dan logika utilitarian: hukum berlaku sejauh ia menguntungkan. Dalam konteks perang antara Iran dan Israel, di tengah kehancuran hukum dan etika yang terjadi, yang paling terluka adalah kemanusiaan. Anak-anak yang dibunuh dalam serangan udara, keluarga yang tercerai dalam pengungsian, rumah sakit yang runtuh, dan kota-kota yang menjadi ladang kematian—semuanya adalah biaya dari sistem dunia yang sudah kehilangan nuraninya.Kita sering mengira bahwa hukum internasional dibentuk untuk menjaga perdamaian. Tapi mungkin sekarang kita harus bertanya ulang: apakah hukum internasional benar-benar dimaksudkan untuk melindungi manusia, ataukah hanya untuk menjaga stabilitas kekuasaan antarnegara? Karena jika ia gagal melindungi yang paling dasar—yakni hidup manusia—maka keberadaannya perlu dipertanyakan bukan hanya secara legal, tetapi secara moral dan metafisik.
Baca Juga: Iran Serang Pangkalan Militer AS di Qatar, Kemlu Imbau WNI Tingkatkan Kewaspadaan
Konflik Iran–Israel adalah panggilan terakhir bagi komunitas internasional untuk jujur menilai dirinya. Jika hukum internasional tidak bisa mengikat negara kuat, maka ia bukan hukum. Jika ia hanya hidup dalam pertemuan diplomatik, tetapi mati di medan perang, maka ia bukan norma moral, tetapi hanya liturgi kosong dari tatanan palsu.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti membangun hukum berdasarkan arsitektur kekuasaan, dan mulai membayangkan hukum berdasarkan kesakralan hidup manusia itu sendiri. Bukan dalam arti teokratis, tetapi dalam pengakuan bahwa setiap nyawa adalah pusat makna, dan tidak boleh dikorbankan atas nama logika negara. Meskipun itu bukanlah hukum yang ada hari ini. Namun, itulah hukum yang pantas untuk kita terus kita perjuangkan.









