Teluk Memanas, Indonesia Siaga
Candra Fajri AnandaStaf Khusus Menteri Keuangan RI
BEBERAPA tahun terakhir, dunia dihadapkan pada peningkatan ketegangan geopolitik yang signifikan yang berdampak langsung terhadap stabilitas ekonomi global. Eskalasi konflik bersenjata di berbagai kawasan strategis, mulai dari Eropa Timur hingga Timur Tengah, telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keamanan energi, gangguan rantai pasok, serta fluktuasi harga komoditas.
Ketegangan ini tak hanya memperburuk risiko inflasi global, tetapi juga menghambat arus perdagangan internasional. Dalam konteks tersebut, negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada perdagangan luar negeri kini berada dalam posisi yang sangat rentan, sehingga dituntut untuk bersikap waspada dan segera mengadopsi strategi mitigasi risiko guna menjaga ketahanan ekonomi nasional mereka.
Pada pertengahan 2025, dinamika geopolitik internasional mengalami eskalasi signifikan. Di kawasan Eropa Timur, konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut, dengan Rusia dilaporkan menambah kekuatan militer di wilayah Kharkiv guna mempertahankan strategi perang jangka panjang. Sementara itu, di Timur Tengah, ketegangan kian meningkat seiring dengan berlanjutnya operasi militer Israel di Jalur Gaza yang telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. Kedua konflik tersebut menunjukkan bahwa potensi konflik berskala besar masih menjadi ancaman nyata bagi stabilitas global.
Ironisnya, konflik bersenjata turut berdampak pada sektor logistik global, khususnya di jalur pelayaran strategis seperti Laut Merah. Akibatnya, biaya logistik meningkat dan waktu pengiriman menjadi lebih lama, yang kemudian menambah beban pada arus perdagangan global. Tekanan terhadap rantai pasok global pun menunjukkan tren yang terus memburuk. Indeks Global Supply Chain Pressure (GSCPI) dari New York Fed pada Mei 2025 mencatat kenaikan signifikan, menandakan terjadinya gangguan serius dalam distribusi barang lintas negara. Lonjakan biaya pengiriman kontainer juga terjadi seiring meningkatnya tekanan pada jalur alternatif serta keterbatasan kapasitas pelabuhan.
Di sisi lain, hambatan geografis seperti kemacetan di Terusan Panama – yang dipicu oleh dampak perubahan iklim – semakin memperparah ketidaklancaran logistik global. Konsekuensinya, laju pertumbuhan perdagangan dunia ikut melambat.
Negara-negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap perdagangan internasional menunjukkan kewaspadaan yang meningkat terhadap potensi disrupsi logistik. Singapura, Belanda, Vietnam, dan Jerman – yang memiliki rasio perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi – secara aktif mengimplementasikan kebijakan mitigasi, seperti diversifikasi jalur distribusi, peningkatan cadangan logistik, serta penguatan sistem pemantauan dini terhadap potensi gangguan rantai pasok.
Dalam konteks ini, meningkatnya eskalasi konflik global dan gangguan logistik memunculkan tekanan baru bagi perumusan kebijakan ekonomi nasional. Pemerintah dituntut untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas keamanan dan kelancaran arus perdagangan, guna memastikan ketahanan ekonomi dalam menghadapi ketidakpastian global yang terus berkembang.
Dinamika Ekonomi IndonesiaHingga akhir Mei 2025, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan perkembangan yang relatif terjaga. Berdasarkan paparan APBN KiTa (Kementerian Keuangan, 2025), pendapatan negara terkumpul sebesar Rp995,3 triliun, sedangkan realisasi belanja mencapai Rp1.016,3 triliun. Selisih keduanya menghasilkan defisit Rp21 triliun – hanya 0,09 terhadap PDB – atau jauh di bawah pagu defisit APBN 2025 sebesar 2,53 PDB. Artinya, meskipun penerimaan pajak masih menghadapi tantangan, kondisi tetap ditopang oleh surplus keseimbangan primer yang meningkat menjadi Rp192,1 triliun dibandingkan April 2025.
Di sisi lain, surplus eksternal pun turut memperkuat ruang fiskal pemerintah. Badan Pusat Statistik (2025) melaporkan neraca perdagangan Mei 2025 mencetak surplus sebesar USD4,9 miliar, tertinggi dalam dua tahun terakhir. Nilai ekspor mencapai USD25,3 miliar, sedangkan impor tercatat USD20,4 miliar. Kinerja positif ini memberikan bantalan tambahan bagi APBN, sekaligus menegaskan daya saing ekspor komoditas utama Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global. Meski demikian, tekanan muncul dari komponen neraca jasa, khususnya pembayaran bunga utang.
Laporan Kementerian Keuangan (2025) menunjukkan biaya bunga yang dibayarkan hingga Mei mencapai Rp79,3 triliun. Di sisi lain, Bank Indonesia mencatat posisi utang luar negeri Indonesia per April 2025 sebesar USD431,5 miliar, meningkat 8,2 secara tahunan; porsi utang pemerintah mencapai USD208,8 miliar atau tumbuh 10,4. Lonjakan beban bunga ini menuntut tata kelola utang yang lebih berhati-hati agar keberlanjutan fiskal tetap terjaga.
Kini, kendati Indonesia berhasil mempertahankan surplus neraca perdagangan dan keseimbangan primer. Tekanan yang berasal dari tingginya pembayaran bunga utang serta defisit pada neraca jasa masih menjadi permasalahan struktural yang perlu mendapatkan perhatian serius. Situasi ini menegaskan pentingnya menjaga kesinambungan fiskal sebagai prasyarat utama dalam membangun kapasitas kebijakan yang adaptif dan resilien terhadap ketidakpastian ekonomi global.
Oleh sebab itu, pengelolaan defisit yang prudent, peningkatan efektivitas belanja negara, serta optimalisasi berbagai sumber penerimaan perlu terus diperkuat guna mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan berbasis utang dan memperkokoh ketahanan fiskal dalam jangka panjang. Strategi tersebut tidak hanya krusial untuk menjamin stabilitas ekonomi dalam waktu dekat, tetapi juga memiliki signifikansi strategis dalam mendukung agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan, inklusif, dan kompetitif di masa mendatang.Fokus Menjaga FiskalBelanja publik yang efisien dan terfokus merupakan pilar utama kebijakan fiskal ketat (tight fiscal policy) yang bertujuan menjaga kesinambungan anggaran tanpa menekan pertumbuhan ekonomi. Dengan memprioritaskan program bernilai tambah tinggi – seperti infrastruktur produktif, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan perlindungan sosial yang tepat sasaran – pemerintah dapat meminimalkan kebocoran serta pengeluaran non-esensial.
Orientasi belanja semacam ini tidak hanya meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pembangunan, tetapi juga memperkuat kredibilitas fiskal di mata pasar dan lembaga pemeringkat, sehingga biaya pembiayaan utang dapat ditekan.
Di sisi penerimaan, upaya menggali sumber pendapatan baru sama pentingnya untuk menjaga ruang fiskal. Identifikasi objek pajak yang belum tergarap – misalnya aktivitas ekonomi digital, transaksi lintas batas berbasis platform, ekonomi hijau melalui mekanisme pajak karbon, serta pengenaan cukai atas produk yang berdampak negatif terhadap kesehatan – perlu terus dioptimalkan.
Diversifikasi basis pajak tersebut diharapkan tidak hanya menambah penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan keadilan fiskal melalui perluasan partisipasi wajib pajak dan pengurangan distorsi sektoral. Keberhasilan strategi ini akan sangat bergantung pada kematangan regulasi serta koordinasi antarlembaga pemerintah dalam memetakan potensi penerimaan baru secara komprehensif.
Penguatan sistem administrasi perpajakan menjadi prasyarat agar perluasan basis pajak berjalan efektif. Modernisasi teknologi informasi, integrasi data kependudukan dan transaksi ekonomi, serta penerapan analitik risiko untuk kepatuhan (compliance risk management) dapat meningkatkan akurasi penetapan pajak sekaligus menekan praktik penghindaran.
Selain itu, peningkatan kapasitas aparatur pajak melalui pelatihan berkelanjutan dan penyempurnaan peraturan pelaksana akan memperkuat legitimasi dan transparansi sistem. Sinergi antara belanja publik yang disiplin dan pengelolaan penerimaan yang inovatif – didukung administrasi perpajakan yang andal – akan menghasilkan posisi fiskal yang lebih tangguh, menyediakan ruang kebijakan yang memadai untuk merespons guncangan ekonomi, dan mempercepat terwujudnya pembangunan nasional yang inklusif dan berdaya saing. Semoga.









