Tak Ada Lagi Alasan Nggak Punya Receh: Pengamen Ibukota Kini Terima QRIS
Lupakan sejenak kaleng biskuit usang dan gemerincing koin receh yang memilukan. Di tengah riuh rendahnya jalanan metropolitan, sebuah revolusi sunyi tengah terjadi. Senjatanya? Bukan lagi gitar butut semata, melainkan selembar kode QR yang mampu membungkam alasan paling klasik sekalipun: "Maaf, tak punya uang kecil."
Sebuah video viral di jagat maya baru-baru ini menjadi saksi bisu pertarungan antara tradisi dan teknologi.
Dalam rekaman singkat itu, seorang musisi jalanan, dengan kaus kuning cerah dan semangat membara, tengah melantunkan lagu. Namun, klimaks cerita bukan pada merdunya suara, melainkan pada sebuah dialog singkat yang mengubah segalanya.
Ketika seorang warga melontarkan jurus pamungkas yang biasa digunakan untuk menolak dengan halus, "Maaf mas, nggak punya uang receh," sang pengamen tak goyah. Dengan ketenangan seorang profesional, ia membalas, "QRIS juga bisa, mba!"
Momen itu seketika meruntuhkan benteng pertahanan terakhir bagi masyarakat yang enggan memberi. Alasan "tidak bawa uang tunai" kini telah resmi dipensiunkan oleh mereka yang justru paling bergantung pada uang tunai.Dengan santai, sang musisi menunjuk kode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang tertempel rapi di tas anyamnya. Teknologi yang dulu identik dengan kafe-kafe trendi dan gerai ritel modern, kini telah turun ke jalan, menjadi alat juang baru bagi para seniman trotoar. Hanya dengan beberapa ketukan di layar ponsel, donasi sebesar Rp5.000 pun berpindah tangan, terkonfirmasi, dan tercatat secara digital.
Adaptasi atau Mati
Fenomena ini lebih dari sekadar lelucon viral. Ia adalah potret ketahanan dan kecerdasan para pekerja sektor informal di tengah gempuran era digital.Ketika masyarakat semakin cashless, para pekerja jalanan dihadapkan pada dua pilihan: beradaptasi atau tersingkir. Pengamen tidak hanya beradaptasi, justru memanfaatkan tren untuk membuka sumber pendapatan baru. Ia meretas batasan, mengubah potensi halangan menjadi peluang.
Kisah ini menampar kita dengan sebuah realitas baru: digitalisasi bukan lagi milik eksklusif kaum urban di ruang ber-AC. Ia telah meresap hingga ke lapisan paling bawah struktur ekonomi, memaksa kita untuk melihat kembali definisi "ekonomi kerakyatan" di abad ke-21.
Siapa sangka, alat pembayaran yang dirancang Bank Indonesia untuk efisiensi transaksi kini menjadi alat penyambung hidup bagi mereka yang seringkali terpinggirkan?
Gema di Ruang Digital
Respons publik di media sosial pun bergemuruh, menjadi paduan suara antara tawa geli dan decak kagum.“Fix, nggak bisa lagi alasan lupa bawa receh,” cuit seorang pengguna dengan akun @adi*.Komentar lain menimpali dengan nada menyindir, "Pengamen aja cashless, elu kapan?” ujar akun @fau*, seolah menunjuk pada mereka yang masih gagap teknologi.
Bahkan ada yang sudah memikirkan alibi berikutnya, meski langsung dipatahkan. “Mau alesan gada kuota, pasti suruh tetring ke temen sebelah,” timpal @chi*.
Pada akhirnya, pengamen ber-QRIS ini adalah simbol zaman: sebuah potret tentang kreativitas untuk bertahan hidup, tentang bagaimana teknologi bisa menjadi pedang bermata dua—sekaligus menjadi tantangan dan jawaban.
Pertanyaannya kini bukan lagi "Punya receh, Bang?", melainkan "Sudah siapkah kita dengan perubahan yang datang lebih cepat dari yangkitaduga?"