Andreas Pareira PDIP Kritik Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal 98: Manipulasi Sejarah Sama Saja Membohongi Bangsa!
Wakil Ketua Komisi XIII DPR Andreas Hugo Pareira mengkritik Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tragedi pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengingatkan Fadli Zon bahwa manipulasi sejarah sama saja dengan membohongi bangsa.
Andreas menyatakan, penulisan sejarah yang faktual dan objektif penting untuk menjadi bahan pelajaran bangsa ini. Tujuannya, kata dia, tak lain agar masyarakat bisa belajar dari sejarah. Ia pun mengingatkan Fadli untuk tak melupakan sejarah.
"Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno. Forgive but not forget, kata Nelson Mandela. Kalimat-kalimat yang dikemukakan tokoh-tokoh dunia tersebut tentang peristiwa masa lalu, pahit sekalipun menunjukkan bahwa pentingnya penulisan sejarah yang benar dan objektif untuk menjadi pelajaran bagi bangsa," ujar Andreas kepada wartawan yang dikutip, Selasa (17/6/2025).
Baca juga: DPR Akan Panggil Fadli Zon Buntut Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 98
Dia mengatakan, memanipulasi peristiwa bersejarah sama saja dengan membohongi bangsa. Apalagi, kata Andreas, peristiwa bersejarah telah terekam dan diungkap oleh media."Memanipulasi, menutup-nutupi peristiwa sejarah hari ini sama saja dengan membohongi diri, membohongi bangsa. Karena tokoh peristiwa-peristiwa tersebut terekam oleh berbagai media dan saksi sejarah," kata Andreas.
Dia pun menilai tak akan ada manfaatnya bila penulisan sejarah ulang tetapi menutupi fakta yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Menurutnya, hal itu akan menimbulkan kecurigaan
Baca juga: Kontroversi Pemerkosaan Massal 1998, DPR: Jangan Hapus Tragedi Kemanusiaan yang Nyata
Drawing Putaran 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 Digelar di Malaysia, Siapa Lawan Timnas Indonesia?
"Tidak ada manfaatnya kalau buku sejarah ditulis untuk membangun persatuan tetapi menutupi fakta sejarah yang penting. Karena justru ini akan menimbulkan kecurigaan dan luka yang tidak terobati dan akan membusuk dalam perjalanan waktu," pungkasnya.
Penjelasan Fadli Zon
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan apresiasi terhadap publik yang semakin peduli pada sejarah termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Menurutnya, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya “perkosaan massal”.Bahkan, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal "massal" ini. Demikian pula, kata Fadli, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku.
Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri. “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian ataupun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli Zon.
Pernyataan Sikap Indonesia dan 23 Negara Kecam Serangan Israel ke Iran: Serukan Gencatan Senjata!
Sebaliknya, kata Fadli, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan. Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
Pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. “Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik.” Istilah ‘massal’ menurutnya juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik. “Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif.”
Menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa. Dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.
Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain: kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas; kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Terakhir, Fadli juga mengajak masyarakat untuk terlibat dalam dialog secara sehat dan konstruktif, sebagai bagian dari upaya bersama membangun narasi sejarah Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, reflektif, dan terus berkembang. Ia juga menyatakan kesiapan untuk berdialog secara langsung dengan berbagai kelompok masyarakat, untuk mendengarkan aspirasi dan masukan lebih lanjut.