Kontroversi Pemerkosaan Massal 1998, DPR: Jangan Hapus Tragedi Kemanusiaan yang Nyata
Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998. Dia menilai pernyataan tersebut berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
"Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada pemerkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah," ujar Lalu, Selasa (17/6/2025).
Dia menuturkan tragedi 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual. Pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
Baca juga: Pernyataan Fadli Zon soal Pemerkosaan Massal Mei 1998 Dikritik, Istana: Jangan Divonis Macam-macam Dulu
"Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan," katanya.Lalu menilai penyangkalan fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998 sama saja merendahkan martabat korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.
"Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka," ujar legislator Dapil Nusa Tenggara Barat II itu.
Politikus PKB ini mengingatkan sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.
"Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis," kata Lalu.
DPR bakal mengawal Kementerian Kebudayaan yang tengah melakukan penulisan revisi sejarah Indonesia. Penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa, bukan hanya domain kementerian.
Dia juga menyoroti minimnya partisipasi publik dan komunitas akademik dalam proses penyusunan ulang sejarah yang dilakukan Kementerian Kebudayaan. "Jika masyarakat hanya boleh mengkritik setelah draf selesai, itu bukan partisipasi, itu hanyalah konsumsi pasif," ucapnya.










