Petani Milenial
Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI
DI TENGAH ketidakpastian ekonomi global yang semakin tinggi, sektor pertanian terus menunjukkan ketangguhannya sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Tatkala sektor-sektor lain seperti manufaktur, keuangan, dan perdagangan mengalami tekanan akibat volatilitas pasar dan fluktuasi harga komoditas, pertanian tetap tumbuh secara konsisten.
Hal ini menjadikan sektor pertanian sebagai penyangga utama stabilitas ekonomi Indonesia, khususnya dalam menjaga ketersediaan pangan, lapangan kerja, dan daya beli masyarakat pedesaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I tahun 2025 sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,52 (yoy), jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 4,87.
Sektor ini juga menyerap hampir 29 tenaga kerja nasional, membuktikan bahwa kontribusinya tidak hanya bersifat makroekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi sosial melalui pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan wilayah. Ketahanan sektor pertanian juga tercermin dalam kinerja ekspor yang stabil. Sepanjang tahun 2023, ekspor produk pertanian Indonesia mencapai US$ 52,9 miliar, dengan surplus perdagangan yang signifikan.
Komoditas unggulan seperti sawit, karet, kopi, dan kakao terus diminati pasar internasional, bahkan di tengah tantangan regulasi global dan perubahan iklim. Artinya, pertanian tidak hanya menjadi sektor penopang saat krisis, tetapi juga fondasi utama ketahanan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, demi mempertahankan dan meningkatkan peran strategis ini, diperlukan komitmen kuat dalam pembangunan infrastruktur pertanian, penyediaan teknologi adaptif terhadap iklim, serta penguatan kelembagaan petani dan akses pasar. Ke depan, pengembangan pertanian yang inklusif dan berkelanjutan merupakan kunci penting dalam mewujudkan ekonomi Indonesia yang tangguh dan berdaulat.
Problematika Pertanian di Indonesia
Pada perkembangannya, pertanian Indonesia kini menghadapi “bom waktu” demografis. Pertumbuhan sektor pertanian Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan struktural berupa menua-nya pelaku usaha tani. Data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan rata-rata umur petani telah menembus 54 tahun, naik hampir satu dekade dibanding 2013, di mana lebih dari 55 petani berada di rentang usia di atas 55 tahun.Profil umur petani Indonesia memang timpang, di mana petani Generasi X (43-58 tahun) mendominasi dengan 42,39, disusul Baby Boomer (59-77 tahun) 27,61. Adapun Milenial (27-42 tahun) hanya 25,61, sementara Gen Z (≤ 26 tahun) hanya 2,14 dari total petani. Ironisnya, fenomena penuaan ini berbanding lurus dengan penurunan produktivitas pekerja – sekitar 0,8 per tahun – akibat berkurangnya kapasitas fisik dan terbatasnya mekanisasi.
Kondisi tersebut menandakan bahwa jika proses regenerasi tersendat, maka keberlanjutan produksi pangan nasional dalam jangka menengah pun akan terancam. Minimnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian masih menjadi persoalan serius, sebagaimana tercermin dalam Survei JakPat (2022) yang menunjukkan bahwa 12,6 responden Gen Z menganggap profesi petani sebagai pekerjaan yang berat dan berpenghasilan rendah, sementara 36,3 lainnya menilai bahwa sektor ini tidak memiliki jalur karier yang jelas.
Kisah Sunan Giri Cegah Raja Mataram Panembahan Senopati Berperang dengan Pangeran Surabaya
Persepsi negatif ini semakin diperkuat oleh tingginya risiko perubahan iklim, fluktuasi harga komoditas, serta terbatasnya akses terhadap lahan dan permodalan yang membatasi potensi keuntungan dibandingkan dengan sektor ekonomi digital dan pekerjaan urban. Sektor pertanian di Indonesia memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Meski demikian, tantangan regenerasi pelaku usaha tani semakin nyata. Oleh sebab itu, untuk mengatasi hal tersebut, sektor pertanian harus mampu menciptakan insentif yang menarik bagi kalangan muda agar bersedia terlibat secara aktif dan berkelanjutan. Insentif yang dimaksud tidak semata bersifat finansial, tetapi juga mencakup akses terhadap lahan, pembiayaan, pelatihan, dan peluang wirausaha agribisnis yang berbasis inovasi. Adapun sebagai respons terhadap stagnasi regenerasi, saat ini pemerintah telah meluncurkan program “Petani Milenial” dan “Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS)”, di mana hingga tahun 2023 berhasil menjaring 6,18 juta petani muda berusia 19–39 tahun, atau sekitar 21,93 dari total petani nasional.
Program tersebut dirancang melalui pelatihan wirausaha agribisnis, fasilitasi akses lahan kolektif, serta pendampingan market linkage, guna membentuk generasi petani muda yang inovatif, adaptif terhadap dinamika pasar, dan mampu mendukung optimalisasi potensi bonus demografi pada periode 2030–2040. Pemberian insentif perlu didesain secara terpadu dengan dukungan teknologi sebagai elemen kunci.
Di era transformasi digital, adopsi teknologi presisi seperti penggunaan drone, sensor tanah, irigasi otomatis, serta sistem informasi pertanian berbasis data telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas secara signifikan. Generasi muda yang akrab dengan perkembangan teknologi digital memiliki potensi besar untuk mempercepat modernisasi sektor pertanian, asalkan mereka difasilitasi dengan akses teknologi, pembinaan teknis, dan ekosistem inovasi yang memadai.
Tanpa kehadiran teknologi dan partisipasi generasi muda, sektor pertanian berisiko mengalami stagnasi produktivitas dan kehilangan daya saing, terutama di tengah tantangan perubahan iklim dan fluktuasi pasar global. Oleh sebab itu, pendekatan kebijakan yang mengintegrasikan insentif ekonomi, penguatan kapasitas sumber daya manusia, serta pemanfaatan teknologi menjadi prasyarat mutlak untuk membangun pertanian masa depan yang tangguh, adaptif, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Urgensi Intervensi Teknologi dalam Pertanian
Generasi muda, khususnya kelompok milenial dan Gen Z, memiliki keunggulan komparatif dalam hal penguasaan dan adopsi teknologi. Lahir dan tumbuh dalam era digital, mereka cenderung lebih adaptif terhadap penggunaan perangkat berbasis Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan aplikasi digital dalam aktivitas keseharian, termasuk dalam sektor pertanian. Kemampuan ini memberikan peluang besar untuk mendorong transformasi sektor pertanian menjadi lebih modern, efisien, dan berkelanjutan. Dengan dukungan teknologi, berbagai hambatan yang selama ini membatasi produktivitas pertanian, seperti ketergantungan terhadap tenaga kerja manual, keterbatasan data, serta ketidaktepatan input produksi, dapat diatasi secara lebih sistematis. Teknologi telah terbukti mampu memberikan lompatan kinerja yang signifikan. Penerapan drone penyemprot, sensor kelembapan tanah, sistem irigasi otomatis, hingga pemantauan pertumbuhan tanaman secara real time melalui aplikasi seluler memungkinkan proses budidaya menjadi lebih presisi dan hemat biaya.Generasi muda memiliki potensi besar untuk mengimplementasikan teknologi-teknologi ini di lapangan karena literasi digital mereka relatif tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Oleh karenanya, jika diberikan akses terhadap teknologi dan pelatihan teknis yang memadai, generasi muda dapat menjadi motor penggerak modernisasi pertanian nasional.
Penguasaan teknologi di kalangan milenial dapat mencakup berbagai aspek seperti perbenihan, jaringan pemasaran, dan sistem keuangan digital. Dalam hal benih, anak muda lebih terbuka terhadap pemanfaatan varietas unggul berbasis bioteknologi maupun teknologi pengawetan pascapanen. Di sisi hilir, kemampuan mereka dalam mengakses dan memanfaatkan platform digital seperti e-commerce, marketplace agribisnis, dan media sosial menjadikan distribusi produk pertanian lebih efisien dan langsung ke konsumen, sehingga margin keuntungan dapat meningkat.
Hal ini berbeda dari pendekatan konvensional yang cenderung terjebak pada rantai pasok panjang dan ketergantungan pada tengkulak. Selain itu, pengelolaan keuangan dalam sektor pertanian kini semakin mengandalkan sistem digital seperti mobile banking, peer-to-peer lending, dan digital wallet yang sudah akrab digunakan generasi muda. Platform pembiayaan inovatif ini membuka akses permodalan yang lebih inklusif, cepat, dan minim prosedur administratif.
Milenial yang cakap digital dapat lebih mudah memanfaatkan sumber pembiayaan ini untuk mengembangkan usaha tani mereka secara mandiri maupun kolektif. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan anak muda tak hanya penting dalam aspek produksi, melainkan juga dalam pembentukan ekosistem agribisnis yang lebih sehat dan efisien. Partisipasi aktif generasi muda dalam sektor pertanian menjadi elemen strategis dalam mendorong peningkatan daya saing dan produktivitas yang berkelanjutan.
Kemampuan mereka dalam mengadopsi teknologi serta mengelola benih, jaringan pasar, dan sistem keuangan secara lebih rasional dan berbasis data menempatkan mereka sebagai aktor kunci dalam transformasi menuju pertanian modern. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang berpihak pada generasi muda melalui perluasan akses terhadap teknologi, pelatihan teknis, skema pembiayaan yang inklusif, serta penguatan infrastruktur digital di wilayah pedesaan guna mengoptimalkan kontribusi mereka dalam pembangunan pertanian nasional. Semoga.