IKPI Ingatkan Tax Amnesty untuk Perbaikan Manajemen Data Perpajakan

IKPI Ingatkan Tax Amnesty untuk Perbaikan Manajemen Data Perpajakan

Nasional | sindonews | Sabtu, 14 Juni 2025 - 10:18
share

Tax amnesty harus menjadi langkah reformasi dan bukan cara cepat mencari pendapatan negara. Karenanya, program ini tidak lagi dijadikan alat politik.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld dan Sekretaris Umum IKPI Associate Professor Edy Gunawan. Keduanya menegaskan tax amnesty harus menjadi fondasi reformasi sistem perpajakan Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Vaudy mengatakan, Indonesia tidak bisa terus menerus menggunakan tax amnesty sebagai solusi tambal sulam. “Kalau pengampunan pajak ini hanya jadi pengampunan atas kesalahan masa lalu tanpa reformasi sistem, kita hanya mengulang kesalahan. Harus ada reformasi kelembagaan, penguatan kepatuhan, dan yang penting tidak boleh ada pengulangan dalam jangka pendek,” ujarnya di sela diskusi panel bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Menurut dia, potensi tax amnesty dalam mengalihkan ekonomi bawah tanah (underground economy) ke sektor formal. Hal ini diharapkan mendorong peningkatan tax ratio dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

“Kalau tax ratio sudah tinggi dan kepatuhan sudah mapan, tentu kita tidak butuh lagi tax amnesty ke depan. Tapi sekarang ini bisa jadi alat transisional menuju sistem pajak yang lebih sehat dan strategis,” ucapnya.Edy Gunawan menekankan tax amnesty yang sudah pernah diterapkan era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), hingga Presiden Joko Widodo (2016), sebenarnya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih penting daripada sekadar angka penerimaan.

“Tax amnesty itu bukan cuma menambah penerimaan. Itu efek jangka pendek. Yang paling penting adalah perbaikan manajemen data perpajakan,” ujar Edy.

Dia menyoroti keberhasilan tax amnesty 2016 yang mampu mengungkap harta sebesar Rp4.884 triliun. Data itu membantu negara menyaring dan mendeteksi potensi perpajakan yang sebelumnya tersembunyi.

“Ada tiga alasan kenapa harta itu baru terungkap: karena belum dilaporkan, karena pelaporan sebelumnya tidak lengkap, atau karena faktor lainnya. Nah, dengan data yang termanajemen, sistem perpajakan jadi lebih akurat dan adil,” ungkapnya.

Dia mengingatkan momentum pelaksanaan tax amnesty. Jika program ini terlalu sering digelar dalam kurun waktu pendek, efektivitasnya akan menurun.

“Literatur dan pengalaman menunjukkan jika terlalu dekat jaraknya dengan program sebelumnya, hasilnya akan minim. Tapi kalau diberi jeda 10 hingga 15 tahun, itu memberi dampak lebih kuat baik pada penerimaan maupun kepatuhan wajib pajak,” kata Edy.

Topik Menarik