Dari Satu Ember Sampah, Ema Suranta Bikin Perubahan Lingkungan

Dari Satu Ember Sampah, Ema Suranta Bikin Perubahan Lingkungan

Nasional | sindonews | Kamis, 29 Mei 2025 - 13:15
share

Tragedi memilukan di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005, menjadi titik balik bagi Ema Suranta, seorang ibu rumah tangga dari Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat. Ledakan dahsyat akibat penumpukan gas metana (CH4) dari tumpukan sampah setinggi 60 meter kala itu menewaskan sedikitnya 157 orang dan menyapu dua kampung di sekitarnya. Sejak saat itu, Ema bertekad untuk tidak membiarkan kejadian serupa terulang.

Kini, kekhawatiran Ema terbukti tidak berlebihan. TPA Sarimukti, yang menggantikan fungsi Leuwigajah, mengalami kelebihan kapasitas dan bahkan sempat terbakar pada 2023. Kondisi ini menyebabkan krisis sampah di wilayah Bandung Raya.

"Khususnya di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung Barat. Dan kita berproblem di (TPA) Sarimukti," kata Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (KDM) di akun Instagram @dedimulyadi71 dikutip, Kamis (29/5/2025).

Salah satu upaya mengatasi problem di TPA Sarimukti, menurut KDM, adalah mengurai persoalan di hulu, bukan cuma di hilir. "(Kalau) berhasil di Sarimukti, kita terapkan di seluruh provinsi Jabar," katanya.

Menyikapi situasi tersebut, Ema memilih untuk bertindak. Sejak 2019, Ema memprakarsai pembentukan Bank Sampah Bukit Berlian di lingkungan RW-nya, sekitar 15 km dari TPA Sarimukti. Awalnya, bank sampah ini mengumpulkan limbah anorganik seperti plastik dan kertas, dengan sistem barter yang memungkinkan warga menukarkan sampah dengan peralatan rumah tangga. Metode ini terbukti efektif, dengan jumlah anggota aktif mencapai lebih dari 80 orang dalam waktu singkat.Namun, Ema menyadari bahwa jenis sampah terbanyak berasal dari limbah organik rumah tangga. Ia kemudian menggandeng Bening Saguling Foundation, yang mengenalkannya pada budidaya maggot atau larva lalat Black Soldier Fly, makhluk pengurai sampah organik yang memiliki nilai jual tinggi sebagai pakan ternak dan ikan.

Berbekal pembiayaan awal Rp3 juta dari program Mekaar milik PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Ema mulai mengolah sampah organik secara mandiri. Dukungan dari PNM terus berlanjut, termasuk pembangunan dua kandang maggot senilai hingga Rp100 juta. Kini, Bank Sampah Bukit Berlian memiliki 120 anggota aktif dan mampu mengolah 15 ton sampah organik per bulan dengan hasil panen maggot mencapai 2 ton setiap 24 hari.

Inovasi Ema tidak berhenti di situ. Ketika pembeli maggot utama berhenti membeli, Ema bersama komunitasnya membangun kolam ikan lele sendiri. Dukungan dari Kepala Desa pun datang dalam bentuk bantuan 5.000 ekor bibit lele. Saat panen, warga sekitar diundang untuk merasakan hasil kerja kolektif komunitas tersebut.

"Jadi sekarang kami serap sendiri produk maggot untuk ternak lele," kata Ema kepada wartawan.

Berbagai produk telah dihasilkan dari unit pengolahan ini, mulai dari fresh maggot, dry maggot, tepung maggot, hingga pelet ikan hias. Ema dan komunitasnya membuktikan bahwa limbah bukanlah akhir, melainkan awal dari nilai tambah ekonomi dan sosial.Atas dedikasinya dalam mengolah sampah organik menjadi sumber daya bernilai, Ema Suranta meraih Mata Lokal Award 2025 untuk subkategori Local Ace in Organic Waste Transformation. Ia dinilai berhasil memberi kontribusi nyata terhadap lingkungan, sekaligus memberdayakan komunitas melalui pendekatan berbasis pemberdayaan perempuan.

Ema percaya bahwa solusi persoalan sampah tidak bisa hanya difokuskan di hilir, seperti memperluas TPA atau menambah alat berat. Ia mendorong pendekatan dari hulu: pengurangan dan pengelolaan sampah sejak dari rumah tangga. Ia bahkan berharap Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bisa melihat langsung aktivitas di Bank Sampah Bukit Berlian.

"Kami ingin Pak KDM bisa berkunjung ke Bukit Berlian di Kertamulya untuk melihat apa yang sudah kami lakukan," ujarnya.

Kisah Ema adalah bukti nyata bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Dari satu ember sampah, dari dapur rumah, dari semangat komunitas, sebuah transformasi lingkungan dapat terwujud. Ema Suranta dan para perempuan Desa Kertamulya menunjukkan bahwa solusi untuk krisis lingkungan bisa lahir dari tangan-tangan sederhana yang penuh kepedulian.

Topik Menarik