MA Kabulkan PK Alex Denni, Momentum Koreksi Total Sistem Peradilan Nasional
Mahkamah Agung (MA) resmi mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Deputi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) periode 2021-2023 Alex Denni dalam perkara yang telah menjeratnya selama hampir dua dekade. Putusan ini dinilai menjadi titik balik penting bagi upaya perbaikan sistem peradilan di Indonesia.
Perkara PK Nomor 1091 PK/Pid.Sus/2025 yang diputus pada 23 April 2025 itu sebagaimana tercantum di laman resmi MA menyatakan Alex Denni dibebaskan dari seluruh dakwaan.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, dengan anggota Agustinus Purnomo Hadi dan Jupriyadi memutuskan "PK = Kabul, Batal JJ, Adili Kembali, Bebas/Vrijspraak".
Ketua Badan Pengurus PBHI Julius Ibrani mengatakan, putusan ini membatalkan seluruh putusan sebelumnya, termasuk putusan MA Nomor 163 K/Pid.Sus/2013, serta putusan tingkat banding dan pertama yang pernah menyatakan Alex bersalah.
Menurut Julius, kemenangan ini sekaligus mengungkap rekayasa hukum dan kejanggalan prosedural maupun substansial dalam kasus tersebut.
"Eksaminasi PBHI bersama tiga ahli pidana atas sembilan putusan menguatkan bahwa ini adalah bentuk nyata kriminalisasi. Kasus Alex Denni menjadi cermin rusaknya sistem peradilan dan betapa pentingnya perjuangan untuk menegakkan kebenaran," ujar Julius, Jumat (16/5/2025).
Dia menyebut kejanggalan seperti ketidakterimaan relaas putusan, keterlibatan hakim militer, dan penerapan pasal penyertaan yang hanya dikenakan kepada Alex sebagai bukti terjadinya miscarriage of justice atau peradilan sesat.
Alex Denni pertama kali dijerat hukum pada 2007 dalam perkara proyek pengadaan jasa konsultan DJM (Distinct Job Manual) PT Telkom. Meski dua rekan terdakwanya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah, dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Bandung, putusan untuk Alex berbeda yakni dia tetap dinyatakan bersalah.
Anehnya, putusan kasasi MA baru keluar lima tahun kemudian pada 2013 dan lebih janggal lagi baru dieksekusi pada 2024.
"Bagaimana saya disebut mangkir 11 tahun jika selama itu saya aktif menjabat di berbagai institusi," kata Alex.
Penangkapan Alex di Bandara pada Juli 2024 menjadi titik awal untuk kembali memperjuangkan keadilan. Atas dorongan PBHI, Alex akhirnya mengajukan PK bukan hanya untuk dirinya, tetapi sebagai bentuk kontribusi pada reformasi hukum.
"Saya sempat merasa putus asa. Tapi saya memutuskan maju, karena saya tidak bisa menyarankan generasi muda untuk membangun bangsa, sementara saya sendiri menyerah," ujar Alex.
Dia menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung proses PK ini yakni PBHI, tiga ahli hukum pidana yaitu Rocky Marbun (Universitas Pancasila), Vidya Prahassacitta, dan Ahmad Sofian (Universitas Bina Nusantara), Komisi III DPR, serta 33 tokoh masyarakat yang menjadi amicus curiae. Dia juga mengapresiasi peran media yang konsisten mengawal kasus ini.
“PK ini bukan hanya kepentingan saya. Ini untuk semua yang mungkin telah dikriminalisasi tapi tak punya kekuatan untuk melawan,” kata Alex.
Dia berharap putusan bebas ini menjadi momentum koreksi total terhadap sistem peradilan Indonesia, mulai dari Mahkamah Agung hingga peradilan tingkat pertama.










