Gojek Dicomot Grab? Raksasa Asing Bicara, Apakah Nasib Ojol Lokal di Ujung Tanduk?
Riuh rendah spekulasi mengguncang jagat transportasi daring Indonesia. Kabar angin mengenai potensi merger antara dua pemain besar, Grab dan salah satu kompetitor utama, berhembus kencang, Gojek, menciptakan gelombang kekhawatiran di kalangan pengguna dan pelaku industri.
Di tengah pusaran isu yang tak terverifikasi ini, muncul kembali momok lama yang menghantui: "dominasi asing" di ranah ekonomi digital Tanah Air.
Grab Indonesia, melalui Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs, akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan resminya, Grab memahami derasnya spekulasi yang beredar.
Bersamaan dengan riuhnya isu merger, pertanyaan mengenai keberadaan Grab di Indonesia sebagai bentuk "dominasi asing" kembali mencuat. Grab Indonesia memberikan klarifikasi mengenai struktur hukum serta mencari “pembenaran” beruapa kontribusi nyata mereka bagi Indonesia.
Grab Indonesia beroperasi sebagai Penanaman Modal Asing (PMA), sebuah mekanisme investasi yang diatur dan diizinkan oleh pemerintah Indonesia melalui payung hukum yang berlaku.
PMA adalah jalur lazim bagi perusahaan-perusahaan global yang berinvestasi di Indonesia, menjadi pilar penting dalam mendorong pertumbuhan bisnis berskala besar, mempercepat adopsi teknologi, dan mendukung inovasi lintas sektor.
Meskipun berstatus PMA secara hukum, tapi Grab mengklaim bahwa 99 dari seluruh karyawan Grab Indonesia adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili dan bekerja penuh di Indonesia. Bahkan, hanya 1 orang manajemen Grab di Indonesia yang merupakan Warga Negara Asing (WNA).
“Sisanya adalah putra-putri Indonesia yang memegang tampuk kepemimpinan operasional, strategi, hingga pengambilan keputusan bisnis,” ungkap Tirza Munusamy.
Model PMA bukanlah hal eksklusif bagi Grab. Skema ini juga digunakan oleh pelaku industri lainnya, mulai dari sesama platform ride-hailing, e-commerce, fintech, logistik, hingga sektor manufaktur dan energi terbarukan.
Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa yang telah bertransformasi menjadi unicorn atau decacorn pun tak jarang mendapatkan pendanaan dari investor asing melalui struktur PMA. Melalui PMA, investasi asing mengalir ke dalam negeri, membiayai riset dan pengembangan, memperluas infrastruktur, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan memperkuat kapasitas nasional.
Skema ini juga membuka peluang bagi talenta lokal untuk berkembang dalam ekosistem global, sekaligus menjadi jalur penting dalam transfer pengetahuan dan teknologi yang berdampak jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.
Grab mengklaim telah memberikan dampak positif dan inklusif bagi masyarakat. Ini beberapa diantaranya; - Kontribusi terhadap PDB Nasional: Industri ride-hailing dan pengantaran daring menyumbang Rp382,62 triliun atau 2 terhadap total PDB Indonesia (Studi ITB, 2023). Grab berkontribusi setengah dari PDB industri (Oxford Economics, 2024), mencerminkan besarnya dampak ekonomi dari seluruh ekosistem layanan Grab.
- Menjangkau 1 dari 4 Orang Indonesia: 1 dari 4 orang Indonesia menggunakan layanan industri ride-hailing dan pengantaran daring, baik sebagai konsumen maupun mitra (Studi ITB, 2023), menunjukkan peran Grab dalam nadi kehidupan sehari-hari masyarakat.
- Transformasi Sosial & Peluang Penghasilan: Lebih dari 50 mitra pengemudi Grab sebelumnya menganggur; kini mereka memiliki penghasilan dan akses pelatihan keterampilan serta literasi digital dan keuangan.
- Dukung UMKM dan Ciptakan Lapangan Kerja: Sejak 2020, Grab telah mendorong terciptanya 2,3 juta peluang kerja melalui digitalisasi UMKM. Di kota seperti Jayapura dan Kupang, 50 merchant Grab adalah wirausahawan baru.
- Akses Modal untuk UMKM: Grab dan OVO telah menyalurkan lebih dari Rp1 triliun pembiayaan usaha ke 25.000+ UMKM. Melalui GrabMart Pasar, 5.200+ pedagang pasar di 7 kota kini terdigitalisasi.
- Dorong Energi Bersih & Inklusi Digital: Grab mengoperasikan lebih dari 11.000 kendaraan listrik sejak 2019, mengurangi 26.000 ton emisi karbon dan menghemat 11 juta liter BBM, mendukung transisi energi hijau di sektor transportasi.
Artinya, walau memang benar bahwa Grab adalah milik asing, tapi diklaim memiliki dampak positif bagi Indonesia. Klaim mereka status PMA tidak mengurangi komitmen dan kontribusi mereka terhadap kemajuan Indonesia.
Tentu, bayang-bayang akuisisi oleh Grab terhadap Gojek tetap menjadi isu sensitif. Kekhawatiran akan dominasi asing semakin mencuat jika dua raksasa lokal ini bersatu di bawah bendera perusahaan yang secara hukum berstatus PMA. Akankah talenta-talenta lokal tetap memegang kendali, atau justru kendali strategis akan semakin terpusat di tangan pemodal asing?
Meskipun Grab terus meyakinkan akan komitmennya terhadap Indonesia, pertanyaan mengenai arah industri transportasi daring jika merger benar-benar terjadi masih menggantung di udara. Akankah persaingan sehat tetap terjaga? Atau justru konsumen dan mitra pengemudi akan berada dalam posisi yang kurangmenguntungkan?


