Serangan Israel di Tepi Barat Usir 26.000 Warga Palestina dari Kamp Pengungsi Jenin dan Tulkarm
Militer Israel mengusir 26.000 warga Palestina dari rumah mereka di Jenin dan Tulkarm sejak melancarkan serangan besar-besarannya di Tepi Barat yang diduduki bulan lalu.
Farha Abu al-Haija, anggota Komite Rakyat di Kamp Jenin, mengatakan 17.000 orang telah diusir secara paksa dari kamp Jenin, yang merupakan rumah bagi lebih dari 24.000 pengungsi Palestina yang terdaftar.
Selama dua pekan terakhir, tentara Israel mengepung, menyerbu, serta mengebom kamp dan sekitarnya.
Badan PBB untuk pengungsi Palestina, Unrwa, mengatakan sebagian besar kamp telah rata dengan tanah dalam serangkaian ledakan, memperkirakan 100 rumah telah hancur atau rusak berat.
Pada hari Minggu, pasukan Israel secara bersamaan meledakkan hampir 20 bangunan di sisi timur kamp setelah memasang bahan peledak di sana, kantor berita negara Palestina melaporkan.
Pasukan Israel mencegah pergerakan di dalam kamp dan penduduk terpaksa mengungsi akibat penembakan dan ledakan.
Abu al-Haija mengatakan tentara Israel juga mengusir keluarga yang tinggal di sekitar kamp, di mana mereka juga meledakkan satu bangunan yang terdiri dari 20 flat, menyebabkan 200 penduduk kehilangan tempat tinggal.
Kementerian kesehatan Palestina mengatakan pasukan Israel menewaskan 70 orang di Tepi Barat sejak awal tahun 2025.
Abu al-Haija mengatakan kepada Middle East Eye bahwa penduduk yang mengungsi telah melarikan diri dari kekerasan ke berbagai tempat di Jenin dan pedesaannya, yang juga telah terkena dampak kampanye militer.
Banyak keluarga Palestina sekarang menampung hingga 20 orang terlantar di rumah mereka di tengah kurangnya fasilitas dasar seperti listrik dan air.
Baik keluarga terlantar maupun keluarga yang menerima mereka mengalami kesulitan keuangan. Sebelum kampanye militer Israel, kamp tersebut dikepung dinas keamanan Palestina selama 48 hari. Orang-orang telah menganggur selama tiga bulan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka, termasuk makanan, ujar Abu al-Haija.
Beberapa pekan sebelum operasi Israel, Otoritas Palestina meluncurkan kampanye keamanan berskala besar di Jenin yang melibatkan pengepungan kota, penembakan terhadap warga sipil tak bersenjata, dan bentrok dengan pejuang setempat.
Abu al-Haija, yang juga bekerja dengan organisasi yang menyediakan dukungan psikologis bagi perempuan dan anak-anak, mengatakan karena pengepungan Israel, tidak seorang pun tahu sejauh mana apa yang terjadi di dalam kamp atau kerusakan yang ditimbulkan.
Penduduk Jenin, yang telah mengalami serangan militer berulang kali selama dua tahun terakhir, mengatakan kekerasan dan intensitas serangan saat ini bahkan melampaui invasi kamp yang terkenal selama Intifada Kedua pada tahun 2002.
Keluarga-keluarga di Jenin terkejut dengan besarnya serangan tersebut. Mirip dengan apa yang terjadi di Gaza, hanya saja kali ini wilayahnya hanya seluas satu kilometer persegi," ungkap Abu al-Haija.
Hidup dalam Ketakutan Terus-menerus
Serangan yang sedang berlangsung ini sangat menghancurkan bagi anak-anak, yang tidak dapat bersekolah sejak awal Desember.Juru bicara UNRWA Juliette Touma menyatakan 13 sekolah UNRWA di kamp dan daerah sekitarnya telah ditutup, yang berdampak pada sekitar 5.000 anak.
Abu al-Haija melaporkan anak-anak menderita stres, kecemasan, dan ketakutan yang meningkat, dengan banyak yang kesulitan tidur.
Beberapa anak mengalami kondisi, yang meliputi buang air kecil tanpa disengaja dan episode teriakan histeris.
Samah Hawasheen, seorang warga kamp, mengatakan putrinya yang berusia tujuh tahun sangat terpengaruh.
Hawasheen mengatakan dia dan suami serta tiga anaknya telah meninggalkan rumah mereka selama operasi keamanan Otoritas Palestina di kamp.
Keluarga tersebut telah mencoba kembali ke rumah mereka di lingkungan Al-Hawashin tetapi tidak ada air atau listrik dan tidak ada yang menanggapi permintaan bantuan mereka.
Saya menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun rumah, tetapi jumlah peluru yang menembus dinding dan perabotannya tak terlukiskan. Saya menemukan beberapa peluru di tempat tidur anak-anak saya. Jika kami tetap tinggal, mereka pasti langsung terbunuh, ungkap Hawasheen.
Namun, putrinya terus mengalami ketakutan luar biasa yang sulit diatasi.
"Putri saya menutup telinganya setiap kali mendengar suara peluru. Saya mencoba menghiburnya, tetapi tidak ada yang membantu," papar Hawasheen sambil menahan tangis.
Dia menjelaskan, "Saya merasa sedih untuk anak-anak saya karena mereka tidak mengalami masa kecil mereka. Ketika kami mengungsi, saya tidak percaya melihat mereka bermain di luar."
Abu al-Haija juga menyoroti dampak psikologis lain yang mengkhawatirkan dari kampanye militer rezim apartheid Israel terhadap anak-anak Palestina: prospek masa depan yang suram.
Banyak anak, ketika ditanya apa yang mereka pikir akan menjadi diri mereka ketika mereka dewasa, menjawab, "Seorang martir atau tahanan."
"Penduduk Jenin tinggal berdesakan di apartemen kecil, dan anak-anak mereka tidak bisa keluar untuk bermain karena takut pada penembak jitu. Sekarang, satu-satunya harapan kami adalah agar mereka bisa bermain di bawah sinar matahari," papar dia.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, ada 10 anak, termasuk seorang gadis berusia dua tahun, telah tewas oleh tembakan Israel di Tepi Barat tahun ini.