Selain Nuklir, Ini Teknologi China yang Ditakuti AS
Berdasarkan studi selama 20 bulan terhadap 44 perusahaan China y ang bergerak di bidang teknologi utama termasuk energi nuklir, semikonduktor, kecerdasan buatan, dan kendaraan listrik berkembang pesat.
Analis dari Information Technology and Innovation Foundation (ITIF), mempresentasikan temuannya dalam sebuah acara di Capitol Hill.
Mereka mendesak para politisi dan pembuat kebijakan AS untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan inovasi Tiongkok.
Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa sistem inovasi Tiongkok, meski tidak sempurna, jauh lebih kuat dari yang dipahami sebelumnya, kata perwakilan ITIF, Stephen Ezell.
Meskipun China belum memimpin dalam semua aspek, Tiongkok telah mencapai keberhasilan di beberapa bidang, dan perusahaan-perusahaan China diperkirakan akan menyamai atau melampaui perusahaan-perusahaan Barat dalam satu dekade, tambahnya.
China saat ini memimpin dalam bidang tenaga nuklir, kendaraan listrik, dan baterai, sementara kemajuan mereka dalam bidang semikonduktor canggih tidak terlalu besar.
Studi ini mengevaluasi perusahaan-perusahaan Tiongkok berdasarkan investasi penelitian dan pengembangan, jumlah karyawan, kehadiran tim inovasi internal, penghargaan internasional, dan dominasi pasar, serta membandingkannya dengan para pemimpin global di bidang yang sama.
Dalam hal energi nuklir, China diketahui 10 hingga 15 tahun lebih maju dari AS dalam pengoperasian reaktor nuklir generasi keempat.
China kini membangun lebih banyak reaktor nuklir dibandingkan gabungan semua negara lain dan telah melampaui Amerika Serikat dalam hal ini.
Pada tahun 2030, Tiongkok diperkirakan akan melampaui AS dalam hal pembangkit listrik tenaga nuklir, dan menjadi negara pertama yang mengoperasikan reaktor generasi keempat dengan desain baru dan sistem keselamatan pasif.
Di industri otomotif, China telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Pada tahun 1985, negara ini hanya memproduksi 5.200 mobil, namun tahun ini diperkirakan akan memproduksi 26,8 juta kendaraan 21 persen dari pasar global.
Sebagai catatan, China kini memproduksi 62 persen kendaraan listrik dunia dan 77 persen baterai EV global, menjadikannya pemimpin pasar ini.
Dalam bidang biofarmasi, studi ITIF menemukan bahwa China masih tertinggal dibandingkan Amerika Serikat dan negara-negara Barat, namun mereka mampu mengejar ketinggalan dengan cepat.
Dari tahun 2002 hingga 2019, nilai tambah industri biofarmasi Tiongkok meningkat empat kali lipat hingga hampir 25 persen dari total global.
Namun di bidang robotika, perusahaan-perusahaan China masih kalah inovatif dibandingkan perusahaan-perusahaan di AS, Korea Selatan, dan Jepang, kecuali Kuka, perusahaan robotika Jerman yang dimiliki oleh Grup Midea Tiongkok.
Meski begitu, Tiongkok pada tahun lalu mengerahkan lebih banyak robot industri dibandingkan gabungan seluruh negara lain, sehingga akan berdampak besar pada perekonomian manufaktur mereka.
Untuk semikonduktor, Tiongkok tertinggal dua hingga lima tahun dari para pemimpin global. Huawei Technologies, yang telah dikenakan sanksi keras oleh AS sejak tahun 2020, masih mampu meluncurkan ponsel pintar dengan chip canggih buatan dalam negeri tahun lalu, yang mengejutkan Washington.
Untuk mempertahankan posisi teknologi mereka, Departemen Perdagangan AS pada bulan September mengumumkan kontrol ekspor baru pada komputasi kuantum dan alat pembuatan chip yang canggih.
Hal ini merupakan langkah lebih lanjut setelah sanksi pada tahun 2022 yang membatasi akses Tiongkok terhadap chip komputasi canggih dan mengekang kemampuan mereka untuk memproduksi semikonduktor.
Meski ada pembatasan, perusahaan China seperti Huawei masih mampu bersaing. Perusahaan AS seperti Nvidia telah menciptakan versi chip yang lebih rendah untuk pasar Tiongkok, yang menunjukkan betapa pentingnya pasar tersebut.
China menyumbang sekitar 17 persen pendapatan Nvidia pada tahun yang berakhir Januari, meskipun jumlah ini telah menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya.
Menurut mantan pejabat kebijakan teknologi di Departemen Luar Negeri AS, Rick Switzer, mengingatkan bahwa AS perlu mengintensifkan upaya dalam melindungi keunggulan teknologinya.