Pakar Hukum Persaingan Usaha Sebut RPM Praktik Biasa
Pakar hukum persaingan usaha Prof Dr Ningrum Natasya Sirait mengatakan, penetapan Resale Price Maintenance (RPM) terhadap sebuah produk merupakan praktik yang biasa. Menurut dia, pasti ada alasan dari produsen kenapa membuat penetapan harga seperti itu.
“Semuanya produk kalau harganya ditetapkan kembali atau RPM itu sebetulnya praktik yang biasa saja. Pasti kan ada alasannya produsen melakukan hal itu. Ada the rule of reason, tidak absolut,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), belum lama ini.
Melansir Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli disebutkan tidak boleh menetapkan harga jual kembali. Tapi, secara ekonomi bisnis penetapan RTM itu bukan absolutely tindakan antipersaingan usaha.
“Jadi, kalau undang-undangnya jelas melarang. Tapi, kalau secara ekonomi bisa membuktikan sebaliknya, apalagi pendekatan kita ada di rule of reason dan itu bisa dibuktikan, RPM itu sah-sah saja untuk dilakukan,” katanya.
Dia mempertanyakan bila harga uang ditetapkan tidak ada konteks negatifnya. Sebab, hal itu biasa untuk penetapan harga. Terlebih hubungan antara produsen dan para resellernya itu vertikal yang terafiliasi antara produsen sama yang mendistribusikan produk ataupun resellernya dan bukan horizontal atau sesama pesaing.
“Ada hubungan hukum, ada kontrak, ada perjanjian. Sebab, kalau direseller dan distributornya menjual seenaknya saja ya dia bisa dihantam oleh pesaingnya secara horizontal. Kan dia mesti jaga juga itu,” ujar Ningrum. Karenanya tidak heran penetapan harga itu menjadi sensitif. Terlebih bila berkaca dari hubungan apakah reseller dengan produsennya satu keluarga atau tidak.
Artinya, dari atas ke bawah ada hubungan terafiliasinya. Termasuk saingan yang mempengaruhi adanya perbedaan harga. Berkaca dari Amerika, penetapan harga jual kembali itu awalnya memang sangat sensitif dan dilarang total. Barulah pada 2007 lalu, Mahkamah Agung Amerika menemukan adanya error selama ini dan dalam keputusannya berubah total.
Secara ekonomi bisnis, RPM itu dinyatakan bukan absolutely tindakan antipersaingan. “Jadi, Mahkamah Agung Amerika membalikkan semua putusan yang lalu dan mengatakan bisa menerima alasan bahwa penetapan harga jual kembali itu tidak secara absolut merusak persaingan usaha,” ungkapnya. Menurut Ningrum, ada alasan-alasan bisnis tertentu yang bisa diterima untuk produsen melakukan RPM. Misalnya, untuk lebih efisien dan lebih memastikan perilaku distributor atau resellernya. Model bisnis itu tidak selamanya semua sama. Ada bisnis yang memang lebih bagus kalau dikontrol dengan menetapkan harga jual kembali dan ada jaminan pasokan, misalnya. Kemudian memastikan bahwa bisnisnya tidak berdampak terhadap persaingan interbrand.
“Coba kalau nggak diawasi, si reseller itu suka-suka aja jual harganya. Kalau ketinggian kan produknya nggak laku, tapi kalau kerendahan bisa rugi dan kalah dari pesaingnya. Makanya tetap kritis, harus ditanya apa motifnya? Kenapa dia harus menetapkan harga jual kembali,” katanya.