Patih Danurejo II, Patih Seda Kedhaton
YOGYAKARTA, NETRALNEWS.COM- Pembaca yang budiman, dalam kisah terdahulu disampaikan tentang Mayor Tumenggung Wironegoro yang merupakan pengawal pribadi Sultan keempat dan komandan prajurit Keraton Yogyakarta.
Diponegoro dengan Mayor Wironegoro memang tidak pernah akur. Pernah ketika Diponegoro masih menjadi Wali Sultan (Wali Negara) saat Sultan keempat masih sangat belia, Diponegoro dikucilkan karena sikap kritisnya, bahkan ketika keraton akan mengangkat Polisi Desa atau Gunung yang bertugas memungut pajak kepada rakyat yang memberatkan rakyat, Diponegoro tidak diikutkan dalam keputusan itu.
Tentu saja Diponegoro sangat marah karena pajak saat itu sudah banyak, sehingga memberatkan rakyat. Diponegoro kemudian protes kepada adiknya, Sultan keempat dan menyarankan agar pengangkatan Polisi Desa dibatalkan.
Sebenarnya Sultan keempat sudah berniat membatalkan pengangkatan Polisi Desa, tetapi Tumenggung Mayor Wironegoro menentang dengan keras apabila pengangkatan Polisi Desa dibatalkan. Untuk itulah antara Mayor Wironegoro dengan Diponegoro bertengkar hebat.
Pendapat Tumenggung Mayor Wironegoro ini dikuatkan oleh Patih Danurejo IV. Akhirnya, pengangkatan Polisi Desa itu tetap dijalankan karena Ratu Ibu (Ibunda Sultan keempat) ikut campur untuk segera mengangkat Polisi Desa agar pemungutan pajak segera diwujudkan.
Mayor Wironegoro juga berperan besar dalam penyerbuan tentara kolonial dan tentara Keraton Yogyakarta ke Tegalrejo. Beruntung ada pandai besi yang memberitahukan bahwa tentara kolonial dan tentara keraton akan menyerbu pemukiman Tegalrejo. Pandai besi ini memperbaiki sepatu kuda-kuda yang akan digunakan untuk menyerbu Tegalrejo (kisah tersebut bisa dibaca DI SINI ).
Hari itu masih hari Selasa, tanggal 25 Mei 1830. Diponegoro dan Letnan Knoerle masih bercakap-cakap sembari menghabiskan hari itu saat perjalanan menuju Manado. Dalam percakapan itu Diponegoro mengatakan bahwa dia tidak setuju Mayor Wironegoro akan dinikahkan dengan salah satu putri Patih Danurejo II (menjabat 1799-1811).
Rachel Vennya Galang Dana untuk Korban Banjir Bandang Sumatera-Aceh, Terkumpul Hampir Rp500 Juta
Patih Danurejo II adalah putra dari Raden Tumenggung Danukusuma I (sekitar 1750-1812) dengan Raden Ayu Danukusuma, putri Sultan pertama (bertakhta 1749-1792) dengan garwa ampeyan bernama Bendara Raden Ayu Srenggoro.
Untuk itulah, Patih Danurejo II masih cucu dari Sultan Mangkubumi. Patih Danurejo II juga cucu dari Patih Danurejo I (menjabat 1755-1799) karena dia juga putra dari Tumenggung Yudanegara II, Bupati Banyumas. Bupati Yudanegara II adalah putra dari Tumenggung Yudanegara I.
Tumenggung Yudanegara I Bupati Banyumas, setelah menjadi patih Sultan Mangkubumi, diberi nama Patih Danureja I. Banyumas ketika Perjanjian Giyanti 1755 adalah wilayah Mancanegara Barat masuk wilayah Kesunanan Surakarta.
Dari garis keturunan, nampak bahwa Patih Danurejo II merupakan keturunan bangsawan kelas atas, sehingga tidak mengherankan apabila dia sangat dihormati di Keraton Yogyakarta.
Saat kakeknya Patih Danurejo I wafat pada tahun 1799, dia ditasbihkan menjadi patih menggantikan kakeknya. Hal ini karena Tumenggung Yudanegara II ayah Patih Danureja II tidak mau menjadi patih, tetapi lebih suka menjadi Bupati Banyumas.
Perkuat Ekosistem Film, Menteri Ekraf: Fokus Pemerintah Buka Lapangan Kerja Lewat Ekonomi Kreatif
Disisi lain, Sultan kedua menghormati janji Sultan pertama yang mengatakan bahwa karena kebaikan Patih Danurejo I, maka kelak anak turunnya (dinasti Hamengku Buwanan) akan menjadikan keturunan Patih Danurejo I menjadi patih di Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Patih Danurejo II dinikahkan dengan putri Sultan kedua dengan garwa padmi Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Angger. Untuk itulah Patih Danurejo II merupakan menantu dari Sultan kedua.
Sebenarnya Patih Danurejo II awalnya orangnya baik, tetapi karena haus kekuasaan dan kenikmatan sehingga sering mengabaikan tugasnya.
Patih Danurejo II suka mabuk-mabukan dalam perjamuan di tempat residen Yogyakarta sehingga sering membuat Sultan kedua marah dengan menghukumnya dengan denda yang berat. Puncaknya Sultan kedua menghukum mati Patih Danurejo II karena dosa-dosanya terhadap Sultan kedua dan Keraton Yogyakarta.
Dosa yang disandangnya terhadap Sultan kedua adalah:
1). Ketika Daendels membuat peraturan yang merendahkan raja misalnya raja Yogyakarta duduk harus sama tinggi dengan residen Yogyakarta, Sultan kedua menolaknya tetapi Patih Danurejo II menekan Sultan kedua agar melaksanakan peraturan itu.
2). Ketika Raden Ronggo Prawirodirjo III yang juga menantu serta punggawa Kesultanan Yogyakarta melakukan perlawanan dengan Daendels, Patih Danurejo II ikut berperan menghasut Daendels agar Sultan kedua menyerahkan Raden Ronggo untuk diberi hukuman.
3). Patih Danurejo II memalsukan cap Sultan dalam sebuah surat yang isinya Sultan kedua menyuruh Raden Ronggo menjarah Mancanegara Timur yang masuk wilayah Surakarta, sehingga seolah-olah Sultan kedua terlibat dalam pemberontakan Raden Ronggo.
4). Kesalahan terbesar Patih Danurejo II adalah dia ikut memaksa Sultan kedua turun takhta dan digantikan oleh Putra Mahkota saat pemerintahan Daendels.
Dalam pandangan Sultan kedua, perilaku Patih Danurejo II ini sama sekali tidak dapat dimaafkan. Untuk itulah setelah pemerintahan Prancis-Belanda kalah perang dengan Inggris dan Jawa di bawah pemerintahan transisi Inggris, Sultan kedua memanggil Patih Danurejo II. Saat memasuki Bangsal Purworetno, dia ditangkap dan dicekik dengan tali putih yang merupakan cara biasa untuk mengeksekusi pejabat keraton.
Setelah itu, mayat Patih Danurejo II dibawa ke kepatihan. Kemudian, Sultan kedua memerintahkan dimakamkan di Banyusumurup, tempat pekuburan para punggawa keraton yang dianggap penghianat kerajaan.
Sejak itu, Patih Danurejo II di Yogyakarta disebut sebagai Patih Seda Kedhaton (Patih yang meninggal di keraton). Salah satu putra Patih Danurejo II dari selir (istri tidak resmi) yang bernama Raden Tumenggung Gondokusuma (sekitar 1808-1885) yang juga salah satu pengikut Diponegoro dan menjadi panglima perang Diponegoro, kelak menjadi patih pada 1847 dengan gelar Raden Adipati Danurejo V (menjabat 1847-1879).
Bagaimana kisah-kisah berikutnya saat Sang Pangeran di Kapal Pollux? Ikuti terus artikel ini yang tentunya ditemukan kisah-kisah menarik lainnya. Tunggu episode berikutnya, ya!
Penulis: Lilik SuharmajiFounder PUSAM (Pusat Studi Mataram) tinggal di Yogyakarta. Bacaan Rujukan Carey, Peter. 2022. Percakapan dengan Diponegoro . Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Lilik Suharmaji. 2020. Geger Sepoy, Sejarah Kelam Perseteruan Inggris Dengan Keraton Yogyakarta, 1812-1815. Yogyakarta: Araska.
Mandoyokusumo, KPH. 1988. Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Badan Museum Keraton Yogyakarta.


