37 Puisi Chairil Anwar Penuh Makna

37 Puisi Chairil Anwar Penuh Makna

Seleb | BuddyKu | Senin, 7 Agustus 2023 - 14:34
share

AKURAT.CO Chairil Anwar merupakan penyair kelahiran Kota Medan yang menciptakan banyak karya terkenal, khususnya puisi. Sampai akhir hidupnya, beliau yang berjasa dalam dunia sastra pun dikenang melalui peringatan Hari Puisi Nasional setiap tanggal 28 April. Berikut ini kumpulan puisi Chairil Anwar yang penuh makna.

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

1. Isa

( Chairil Anwar) 12 November 1943

kepada nasrani sejati

Itu Tubuh mengucur darah, mengucur darah

Rubuh, patah

mendampar Tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa

bertukar rupa ini segara

mengatup luka aku bersuka

Itu Tubuh

mengucur darah, mengucur darah

2. Aku

( Chairil Anwar) Maret 1943

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

3. Cintaku Jauh Di Pulau

( Chairil Anwar) 1946

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

Tujukan perahu ke pangkuanku saja,

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau ku mati, dia mati iseng sendiri.

4. Diponegoro

( Chairil Anwar) Februari 1943

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

5. Derai Derai Cemara

( Chairil Anwar) 1949

cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

6. Doa

( Chairil Anwar) 13 November 1943

kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cahyaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

7. Malam

( Chairil Anwar) 20-30 Agustus 1957

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

Thermopylae?

jagal tidak dikenal?

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

8. KrawangBekasi

( Chairil Anwar) Brawidjaja, 1957

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak Merdeka dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

9. Hampa

( Chairil Anwar)

kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

10. Penerimaan

( Chairil Anwar) Maret 1943

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

11. Malam Di Pegunungan

( Chairil Anwar) 1947

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

12. Persetujuan Dengan Bung Karno

( Chairil Anwar) Liberty Jilid 7, No 297,

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

13. Sajak Putih

( Chairil Anwar)

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tidak membelah

14. Prajurit Jaga Malam

( Chairil Anwar) 1949

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu

15. Senja Di Pelabuhan Kecil

( Chairil Anwar) 1946

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

16. Yang Terampas Dan Yang Putus

( Chairil Anwar) 1949

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

17. Maju

( Chairil Anwar) Februari 1943

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

18. Selamat Tinggal

( Chairil Anwar)

Aku berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya ?

Kudengar seru menderu

dalam hatiku

Apa hanya angin lalu ?

Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah!!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal

Selamat tinggal

19. Rumahku

( Chairil Anwar) April 1943.

Rumahku dari unggun-unggun sajak

Kaca jernih dari segala nampak

Kulari dari gedung lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala

Dipagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun-unggun sajak

Disini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

jika menagih yang satu

20. Nisan

( Chairil Anwar)

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

Dan duka maha tuan tak bertahta.

21. Mirat Muda, Chairil Muda

( Chairil Anwar) 1946

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,

menatap lama ke dalam pandangnya

coba memisah mata yang menantang

yang satu tajam dan jujur yang sebelah.

Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil;

dan bertanya: Adakah, adakah

kau selalu mesra dan aku bagimu indah?

Mirat raba urut Chairil, raba dada

Dan tahulah dia kini, bisa katakan

dan tunjukkan dengan pasti di mana

menghidup jiwa, menghembus nyawa

Liang jiwa-nyawa saling berganti.

Dia rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati;

hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas

Hiduplah Mirat dan Chairil dengan dera,

menuntut tinggi tidak setapak berjarak

dengan mati

22. Dengan Mirat

( Chairil Anwar) 1946

Kamar ini jadi sarang penghabisan

di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau

rakit hitam

Kan terdamparkah

atau terserah

pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau

mengikut juga bayangan itu

23. Aku Berada Kembali

( Chairil Anwar) 1949

Aku berada kembali. Banyak yang asing:

air mengalir tukar warna,kapal kapal,

elang-elang

serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah

juga disinari matari lain.

Hanya

Kelengangan tinggal tetap saja.

Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;

lebih lengang pula ketika berada antara

yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling

ditarik gelisah yang sebentar-sebentar

seterang

guruh

24. Kawanku dan Aku

( Chairil Anwar)

Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti

25. Kepada Kawan

( Chairil Anwar)

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,

mencengkam dari belakang tika kita tidak melihat,

selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,

tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,

layar merah berkibar hilang dalam kelam,

kawan, mari kita putuskan kini di sini:

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.

Tidak minta ampun atas segala dosa,

Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi

mari kita putuskan sekali lagi:

Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi,

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

26. Kepada Peminta-minta

( Chairil Anwar)

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

27. Sebuah Kamar

( Chairil Anwar)

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

d luar hitungan: Kamar begini

3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!

28. Kenangan

( Chairil Anwar) 19 April 1943

untuk Karinah Moordjono

Kadang

Di antara jeriji itu-itu saja

Mereksmi memberi warna

Benda usang dilupa

Ah! Tercebar rasanya diri

Membumbung tinggi atas kini

Sejenak

Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang

Hancur hilang belum dipegang

Terhentak

Kembali di itu-itu saja

Jiwa bertanya: Dari buah

Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?

Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia

29. Perhitungan

( Chairil Anwar) 16 Maret 1943

Banyak gores belum terputus saja

Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda

caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya

Sudah itu tempatku tak tentu di mana.

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran

Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke

Sukabumi!?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

30. Kesabaran

( Chairil Anwar) Maret 1943

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! Tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

31. Lagu Biasa

( Chairil Anwar) Maret 1943

Di teras rumah makan kami kini berhadapan

Baru berkenalan. Cuma berpandangan

Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan

Dalam lakon pertama

Orkes meningkah dengan Carmen pula.

Ia mengerling. Ia ketawa

Dan rumput kering terus menyala

Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi

Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai Ave Maria

Kuseret ia ke sana

32. Taman

( Chairil Anwar) Maret 1943

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan nusia

33. Hukum

( Chairil Anwar) Maret 1943

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannyaLesu

Pucat mukanyaLesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa. Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti dimengerti!

34. Semangat

( Chairil Anwar) Maret 1943

Kalau sampai waktuku

kutahu tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih dan peri.

Dan aku lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

35. Pelarian

( Chairil Anwar) Februari 1943

I

Tak tertahan lagi

Remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa.

II

Dari kelam ke malam

Tertawa-meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gelita

Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!

Bujuk dibeli?

Atau sungai sunyi?

Mari! Mari!

Turut saja

Tak kuasaterengkam

Ia dicengkam malam.

36. Sendiri

( Chairil Anwar) Februari 1943

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia tertunduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersendu: Ibu! Ibu!

37. 1943

( Chairil Anwar) 1943

Racun berada di reguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam-membelam

Jalan kaku-lurus. Putus

Candu.

Tumbang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh.

Lahir

Tegak

Berderak

Rubuh

Runtuh

Mengaum. Mengguruh

Menentang. Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandas

Rata

Rata

Rata

Dunia

Kau

Aku

Terpaku.

Topik Menarik