Ketika Peneliti Jerman Timo Duile Bongkar Sosok Kuntilanak
JAKARTA - "Kuntilanak" sesosok makhluk berwajah seram, berambut panjang, mengenakan pakaian putih, serta memiliki suara tertawa yang nyaring.
Berdasarkan data yang dihimpun Okezone, nama Kuntilanak sebetulnya diambil dari bahasa Melayu, Puntianak atau Pontianak. Hantu ini dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir.
Namun, peneliti dan pengajar dari Universitas Bonn, Jerman, Timo Duile mengembangkan sebuah penelitian tentang kuntilanak dari perspektif antropologis. Timo pun berpendapat bahwa narasi Kuntilanak, seperti yang ditemukan dalam cerita rakyat dan di mitos pendirian kota Pontianak, menggambarkan modernitas Melayu tertentu.
Timo mengatakan, pengetahuannya soal kuntilanak ketika dirinya tinggal di daerah Pontianak, Kalimantan Barat pada 2014. Saat itu, ia sedang meneliti soal konsep alam dalam wawasan masyarakat dan aktivis Dayak untuk kepentingan studi lanjutnya.
"Saat berurusan dengan hantu, narasinya secara eksplisit modern, karena mereka membentuk dan bergantung pada pemisahan antara budaya dan alam; beroperasi sebagai sebuah bentuk pencerahan, narasi mengubah alam menjadi objek bagi manusia perkembangan," tulis Timo dalam kesimpulan penelitiannya yang berjudul \'Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia\', seperti dilansir dari www.jstor.org.
Dalam hal ini, sambung Timo, pemisahan ini tidak didasarkan pada dikotomi Barat tetapi pada Islam sebagai kekuatan modernisasi. Narasi Pontianak/Kuntilanak, seperti yang muncul dalam mitos perempuan yang diperbudak dan dikuasai oleh laki-laki, mengandung modus negosiasi antara pra-modern dan paradigma modern.
"Bagi mereka, ada \'pergeseran dari mistisisme ke sains\'. Masyarakat Melayu, Nicholas dan Kline menjelaskan, mengacu pada Osman (1972:221-2), didasarkan pada interaksi antara tiga pandangan duniaIslam, kepercayaan tradisional, dan pengetahuan ilmiah Barat yang bersama-sama merupakan sistem kepercayaan tertentu. Jadi, mereka berpendapat bahwa keduanya Islam dan keyakinan tradisional termasuk dalam kategori pra-modern, berlawanan dengan logika sains empiris modern," bebernya.
Kata Timo, Nicholas dan Kline juga menyatakan hal itu dualisme semacam itu \'secara inheren dan hegemoni reduksionistik\' (Nicholas dan Kline 2010:198), namun itulah dasar yang digunakan oleh masyarakat Melayu untuk membuat pengertian dunia, dan diterapkan secara pragmatis.
"Saya berpendapat bahwa Islam muncul di sini sebagai kekuatan modernisasi. Islam tidak hanya termasuk dalam kategori yang sama dengan \'kepercayaan tradisional\' atau animisme, juga tidak itu oposisi rasionalitas," kata Timo.
"Dengan menerapkan pendekatan dialektis, saya menyarankan bahwa mitos dan rasionalitas saling berbaur. Baik animisme maupun agama cara memberi makna pada alam untuk menguasainya," tuturnya.
Kata Timo, orang Dayak menerapkan animisme secara mimetik yang berkomunikasi dengan roh. Namun, ini menyiratkan upaya untuk menjinakkan roh. Animisme di narasi Kuntilanak bertujuan untuk menguasai alam dengan menambahkan lapisan agama konsep penunggu dan dengan demikian membedakan antara budaya (kota, pes isir) dan alam (pendalaman).
"Dengan menyediakan perangkat mental untuk berkuasa alam, mitos mengandung bentuk pencerahan. Namun demikian, terdapat perbedaan modus mitos dan agama di Kalimantan Barat, tergantung pada organisasi ekonomi dan budaya masyarakat masing-masing," kata Timo.
Sedangkan animisme adalah sebuah modus yang umum di daerah pedesaan Dayak di Kalimantan, dan sekarang juga digunakan oleh para aktivis pribumi, Islam berpengaruh di kota-kota Melayu di mana produk-produk dan tenaga kerja ditawarkan di pasar dan komunitas pesaing dipertahankan bersama melalui identitas seperti Islam, Melayu, dan gagasan terkait masyarakat madani, urbanitas, dan kosmopolitanisme (kebalikan dari pendalaman).
"Konsep penunggu yang diterapkan di pedesaan menawarkan sebuah jalan berurusan dengan alam dengan menyerapnya ke dalam lingkup manusia, setidaknya sampai batas tertentu
derajat. Sebaliknya, Kuntilanak terlempar dari alam manusia ke alam. Namun alam terus menghantui masyarakat, karena struktur narasinya dan cara Melayu modern mendekati alam tidak memungkinkan rekonsiliasi antara budaya/masyarakat dan alam," tutur Timo.
Dulu, kata Timo, proyek Indonesia didasarkan pada gagasan yang adil dan inklusif masyarakat untuk semua warga negara, dan kemajuan dipandang sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang baik untuk semua warga negara.
"Sebagaimana masyarakat Orde Baru kekurangan rasionalitas dalam artian itu pembangunan dan kemajuan menjadi tidak terpisahkan dari pembangunan yang adil, dan masyarakat yang manusiawi untuk semua, dan sementara korupsi dan kekerasan terus berlanjut dan kemiskinan terus menjadi isu meskipun pertumbuhan ekonomi yang besar, narasi pembangunan sebagai tujuan itu sendiri mengandung sejumlah besar irasionalitas," tulis Timo.
Kata Timo, irasionalitas ini dalam kerangka rasional pembangunan hidup di Indonesia yang demokratis, dan telah menjadi salah satu wacana utama dalam politik lagi (Warburton 2016). Penelitian lebih lanjut mungkin menyangkut pertanyaan tentang bagaimana ide abstrak pembangunan membangkitkan ide alam dan horor, karena tampaknya alam terus menjadi konstitutif di luar masyarakat yang beradab dan maju. Namun, masyarakat mencerminkan irasionalitasnya sendiri dalam narasi tentang orang lain.
"Kuntilanak dengan demikian mewujudkan ketakutan dan irasionalitas tidak hanya perempuan tetapi juga kodrat sebagaimana dikontekstualisasikan dalam bahasa Indonesia kemodernan. Karena alam dan masyarakat tetap tidak berdamai, Kuntilanak akan tetap menghantui Nusantara," pungkasnya.



