Tahunan Berkurang Apabila Karyawan Mangkir, Bagaimana Kejelasannya dalam UU?
Dalam dunia kerja, ketepatan waktu dan kedisiplinan sangat penting. Oleh karena itu, kehadiran karyawan di tempat kerja merupakan hal yang sangat diharapkan oleh pengusaha atau perusahaan.
Namun, tidak jarang terjadi karyawan yang tidak hadir tanpa keterangan yang jelas. Hal ini tentu menjadi masalah bagi pengusaha, karena dapat mengganggu produktivitas dan efisiensi kerja. Oleh karena itu, UU Ketenagakerjaan memiliki aturan terkait konsekuensi bagi karyawan yang mangkir tanpa keterangan tertulis.
Karyawan Mangkir dalam UU
Pasal 168 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa karyawan yang mangkir tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Namun, hal ini berlaku hanya untuk karyawan yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut. Jika karyawan yang mangkir kembali bekerja setelah 5 hari, namun tidak menyerahkan keterangan tertulis dengan bukti yang sah kepada pengusaha, maka karyawan tersebut tetap bisa dikenakan sanksi tersebut.
Atas pengunduran diri tersebut, berdasarkan Pasal 162 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, perusahaan tidak perlu melalui proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yakni tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).
Namun, karyawan yang mengundurkan diri berdasarkan pasal tersebut berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Hal ini berlaku jika karyawan yang bersangkutan telah mangkir dari pekerjaannya selama lebih dari 5 hari berturut-turut.
Uang penggantian hak tersebut meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk karyawan dan keluarganya ke tempat di mana karyawan diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, serta hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Jika karyawan mangkir tanpa keterangan, maka pengusaha dapat memotong hak cuti karyawan yang bersangkutan. Namun, dalam UU Ketenagakerjaan tidak diatur secara jelas apakah pengusaha dapat memotong hak cuti karyawan yang mangkir tersebut. Sehingga, dapat disarankan untuk melihat kembali ketentuan dalam Perusahaan.







