Mengubah Watak Kampungan Suporter Sepak Bola

Mengubah Watak Kampungan Suporter Sepak Bola

Olahraga | BuddyKu | Kamis, 2 Februari 2023 - 16:56
share

BUTUH kerja sama dari para pemimpin suporter, manajer klub, dan pemimpin klub untuk menciptakan keamanan di setiap pertandingan sepak bola. Pernyataan yang disampaikan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bukan berasal dari ruang kosong, melainkan cerminan keprihatinannya atas ulah sebagian suporter sepak bola Tanah Air yang tidak beranjak dari perilaku bar-bar yang mereka tunjukkan selama ini.

Baca berita lain di e-paper koran-sindo.com

Berbagai sanksi yang dijatuhkan kepada mereka, termasuk pada tragedi Kanjuruhan di Malang, 24 Oktober -yang menewaskan 135 orang dan 583 orang lainnya cedera- seolah hanya angin lalu yang tidak pernah menjadi pelajaran dan bahan evaluasi untuk membentuk kultur baru suporter yang beradab.

Realitas demikian bisa dilihat dari munculnya sejumlah insinden semenjak Liga Indonesia musim 2022-2023 kembali bergulir pasca-tragedi Kanjuruhan. Insinden dimaksud antara lain pelemparan bus suporter oleh suporter lawan. Bukan hanya pada momen pertandingan Arema FC versus Persis Solo, tapi juga kala laga internasional yang mempertemukan Timnas Indonesia dengan Timnas Thailand di fase grup Piala AFF 2022 pada Desember lalu yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).

Atas insinden tersebut, memang Polisi telah bertindak dengan menetapkan tujuh orang suporter yang berulah usai laga Persita Tangerang Vs Persis Solo sebagai tersangka.

Polisi juga mengevaluasi prosedur pengawalan dan pengamanan bus pemain dan tim pelatih dari titik keberangkatan hingga ke tempat pertandingan, serta saat mereka pulang dari pertandingan. Tapi upaya pengamanan preventif pun jelas tidak cukup selama watak suporter Indonesia masih belum berubah.

Pendekatan paling substantif adalah bagaimana setiap suporter bisa berubah dan memiliki budaya dukung-mendukung baru yang beradab. Perubahan demikian tentu membutuhkan edukasi komprehensif dari pihak-pihak terkait. Pertanyaannya kemudian adalah, edukasi seperti apa yang perlu dilakukan dan siapa yang bertanggung jawab melakukannya?

Perubahan suporter dalam dunia sepak bola lazimnya mengacu pola Inggris yang secara drastis menunjukkan kapasistasnya berevolusi dari kekelaman akibat perilaku hooligan pada era 1980-an yang ditandai terjadinya tragedi Hillsborrough pada 15 April 1989 -, hingga Premier League menjadi liga yang paling nyaman dinikmati di dunia saat ini.

Belajar dari temuan bahwa insinden seringkali dipicu kesalahan penanangan situasi oleh pihak kepolisian, Inggris pun melakukan berbagai upaya perbaikan seperti menempatkan steward mengganti peran polisi, mengganti tempat duduk dengan single seat dan menghilangkan pagar pembatas yang ternyata mendorong efek permusuhan, hingga mewajibkan setiap suporter memiliki kartu keanggotaan klub.

Pola tersebut memang bagus dan bisa dijadikan pedoman untuk meningkatkan kemananan pertandingan sepak bola Tanah Air. Tapi di negeri ini, pendekatan tersebut tidak bakal cukup untuk mengubah perilaku suporter karena watak anarkisme masih terlalu kuat menjerat. Karena itu, lagi-lagi edukasi dan edukasi secara terus-menerus harus dilakukan.

Klub tentu berada pada terdepan untuk memegang peranan tersebut, karena mereka yang memiliki dan memahami basis pendukungnya. Klub harus memastikan bahwa para pendukungnya bukan pendukung liar. Kalaupun sudah bergabung dalam fans klub, harus dipastikan bahwa fans klub tersebut bukan sekadar gerombolan yang hanya terikat emosi untuk mendukung klub kesayangan.

Dengan begitu, masing-masing klub perlu terlebih dulu melembagakan basis pendukungnya, baru kemudian mengedukasi dengan nilai-nilai sportivitas olahraga dan menanamkan budaya baru dalam dukung-mendukung pertandingan. Karena keterbasan klub dan konsentrasi lebih banyak terserap ke penataan pemain, dukungan finansial dan asistensi PSSI, pemda, dan Kemenpora dan pihak terkait lainnya sangatlah dibutuhkan.

Edukasi sudah pasti tidaklah cukup. Sanksi tegas terhadap siapa pun suporter yang bertindak anarkis secara beriringan harus dilakukan untuk memberikan efek jera. Langkah Persib memberi sanksi seumur hidup terhadap suporternya yang bernama Agi Nurpadilah, 22, sudah benar.

Bahkan seharusnya denda Rp200 juta dari Komdis PSSI akibat ulah menyalakan flare ditagihkan ke suporter tersebut. Selain itu, sanksi tegas kepolisian terhadap setiap anarkisme juga harus ditegakkan, termasuk terhadap suporter pelempar bus.

(bmm)

Topik Menarik