Lewis Hamilton Ungkap Trauma Masa Sekolah, Dilempar Pisang hingga Alami Kekerasan Fisik
BRACKLEY - Lewis Hamilton buka suara soal trauma yang dibawanya sejak sekolah hingga dewasa. Pembalap tim Mercedes AMG Petronas itu tak ragu menyebut masa sekolah sebagai bagian paling traumatis dalam hidupnya.
Seperti diketahui, Hamilton tumbuh dan besar di Inggris sebagai bocah keturunan imigran dari Kepulauan Karibia. Kulitnya yang hitam menjadi sasaran empuk dari para perundung berkulit putih di sekolahnya.
Hamilton lantas menceritakan pengalaman buruknya itu ketika tampil di podcast On Purpose . Juara dunia F1 tujuh kali itu mengaku sudah mengalami tindakan rasisme sejak berusia enam tahun yang tentu sangat berat baginya.
Tak hanya masalah warna kulit, Hamilton juga sering mendapatkan kekerasan fisik dari teman-teman sekolahnya. Bahkan, dia pernah dilempar pisang! Maka, tak heran bila masa-sama sekolah itu menjadi pengalaman paling traumatis dalam hidupnya.

"Bagi saya, sekolah adalah bagian yang paling traumatis dan paling sulit dalam hidup saya. Saya sudah diintimidasi sejak usia enam tahun," papar Hamilton dalam podcast On Purpose , seperti dilansir dari Sport Bible , Selasa (24/1/2023).
"Di sekolah khusus itu, saya adalah salah satu dari tiga anak kulit berwarna," lanjut pria berkebangsaan Inggris itu.
"Saya lebih besar, kuat, tapi anak-anak yang mengintimidasi sering melemparkan saya ke mana-mana, memukul saya terus-menerus, dan kerap kali melempar saya dengan berbagai benda, seperti pisang, atau memanggil saya negro begitu santai," ungkap Hamilton.
"Di sekolah (menengah) saya, ada 6-7 anak kulit hitam dari 1.200 anak dan kami bertiga ditempatkan di luar kantor kepala sekolah sepanjang waktu. Kepala sekolah hanya mengeluarkannya untuk kami dan khususnya saya, terang pria kelahiran Stevenage itu.
Hamilton pun merasa sistem yang ada di Inggris sangat bertentangan dengan hidupnya. Akan tetapi, dia tak pernah mengadu kepada orang tuanya tentang perlakuan buruk tersebut. Sebab, Lewis tak ingin ayahnya khawatir sang putra tak bisa melewati cobaan tersebut.
"Saya merasa sistem ini tidak sesuai dengan saya, dan saya berenang melawan arus. Ada banyak hal yang saya (harus) tahan," kata Hamilton.
"Saya tidak merasa bisa pulang dan memberi tahu orang tua saya, anak-anak ini terus memanggil saya kata-kata kotor, atau diintimidasi atau dipukuli di sekolah hari ini, saya tidak ingin ayah saya berpikir saya tidak kuat, tandas pria berusia 38 tahun itu.
Bahkan, tekanan terhadap Hamilton pun masih terjadi ketika sudah dewasa dan menjadi juara dunia F1. Dia tak gentar dan tidak terus mengampanyekan perlawanan terhadap rasisme, sesuatu yang pernah membuatnya trauma di masa kecil.