Gas Air Mata Kena Mata, Sudah Diolesi Odol, Ternyata Tidak Berpengaruh

Gas Air Mata Kena Mata, Sudah Diolesi Odol, Ternyata Tidak Berpengaruh

Olahraga | jawapos | Rabu, 5 Oktober 2022 - 19:50
share

JawaPos.com- Tembakan gas air mata saat pertandingan ternyata juga pernah dirasakan para pemain di lapangan. Itu terjadi pada semifinal Liga Kansas 19961997 yang mempertemukan Bandung Raya dengan Mitra Surabaya.

Beberapa mantan pemain yang tampil di semifinal kala itu memberikan kesaksiannya kepada Jawa Pos.

-

SAYA tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya para korban sebelum dijemput ajal ketika menghirup gas air mata di Stadion Kanjuruhan Sabtu (1/10) lalu. Bagaimana sakitnya mata mereka, dada mereka. Bagaimana paniknya mereka.

Sebab, saya masih ingat betul bagaimana perihnya gas air mata. Saya pernah merasakannya. Tepatnya ketika semifinal Liga Kansas pada tahun 1997 lalu. Saat itu tim saya Bandung Raya melawan Mitra Surabaya.

Saat itu, tepat di tribun belakang gawang saya, tribun utara Stadion Gelora Bung Karno, ada kerusuhan. Polisi yang berjaga menembakkan gas air mata ke arah tribun. Ingat, ke arah tribun ya. Karena tidak ada satu pun penonton yang turun ke lapangan saat itu. Kerusuhan di tribun.

Penginnya gas air mata itu bisa membuyarkan kerusuhan. Tapi, faktanya, kami (pemain, Red), termasuk saya yang jaraknya 15 meter dari tribun, ikut merasakannya. Kami merasakannya karena gas yang ditembakkan ikut terbawa angin dan mengarah kepada pemain di lapangan. Mata saya perih. Dada saya sesak saat itu.

Saya ingat betul bagaimana wasit yang memimpin dari Korea Selatan berlari terhuyung-huyung menyelamatkan diri. Pemain-pemain juga panik, mencari air mineral. Saya juga begitu, perih sekali mata. Semakin dikucek, semakin perih rasanya.

Kami sempat diberi odol di bawah mata yang katanya untuk menghilangkan rasa perih, tapi faktanya tidak berpengaruh. Semua pemain, yang fisiknya bagus-bagus itu, KO karena gas air mata. Sekali lagi ya, gas air mata itu ditembakkan ke tribun. Kami di lapangan hanya kena anginnya.

Kena anginnya saja, rasa perih dan sesak di dada saya rasakan sampai malam hari. Kami semua tidak kuat bertanding lagi sore itu. Pertandingan ditunda dan dilanjutkan esok paginya.

Jadi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana suporter di Kanjuruhan. Mereka merasakan langsung gas air mata. Dalam kondisi panik, gelap, dan sesak. Saya tidak bisa membayangkan betapa kacaunya. Terinjak-injak, sulit bernapas, hingga akhirnya meninggal. Nauzubillah.

PT LIB harus bertanggung jawab atas peristiwa itu. Khususnya kenapa pertandingan dengan rivalitas tinggi dimainkan pada malam hari. Jangan hanya mementingkan uang saja, pikirkan kemanusiaan juga.

Jangan cuma memikirkan televisi. Main malam saja supaya orang nonton televisi. Mas, saya sekarang sudah umur 60 tahun, separo hidup saya di sepak bola. Baru di Liga 1 ini sama musim lalu, saya merasakan pertandingan dilangsungkan malam hari.

Dulu tidak ada. Paling malam habis magrib. Coba ingat, Bandung Raya melawan Mitra Surabaya di semifinal Liga Kansas saat itu mainnya jam berapa? Sore kan?

Padahal laga penting dengan dua tim besar. Tetap sore hari demi keamanan.
Sepak bola kita semakin mundur. Bukan maju. Semakin tidak memikirkan keselamatan orang di dalamnya.

Hanya untuk televisi saja. Saya berdukacita sedalam-dalamnya. Dan semoga sepak bola Indonesia tidak memakan nyawa lagi.

HERMANSYAH, kiper Bandung Raya ketika peristiwa gas air mata di semifinal Liga Kansas 19961997 melawan Mitra Surabaya

Topik Menarik