Menag: Bhinneka Tunggal Ika Harus Jadi Cara Berpikir Kolektif dalam Mengelola Keberagaman
JAKARTA - Bhinneka Tunggal Ika sangat penting sebagai kerangka berpikir moderasi beragama agar perbedaan tidak berubah menjadi sumber konflik. Indonesia sejak awal dibangun dari beragam suku, agama dan tradisi yang saling bersinggungan.
Demikian diutarakan Menteri Agama Nasaruddin Umar saat menghadiri acara Refleksi 2025 dan Proyeksi 2026, di Jakarta.
“Bhinneka Tunggal Ika itu bukan sekadar slogan pemersatu. Ia adalah doktrin kebudayaan yang lahir dari pengalaman panjang bangsa ini hidup dalam perbedaan. Tanpa pemahaman itu, perbedaan mudah sekali berubah menjadi konflik,” ujar Menag Nasaruddin Umar, dikutip Selasa (23/12/2025).
“Kalau perbedaan terus-menerus ditonjolkan tanpa kedalaman pemahaman, kita akan terus berada dalam ketegangan sosial. Ini berbahaya bagi masa depan kebangsaan. Karena itu, kebijaksanaan budaya menjadi sangat penting,” lanjutnya.
Moderasi beragama kata Nasaruddin menuntut kemampuan melihat substansi ajaran agama, bukan sekadar simbol dan identitas luar. Ia menilai banyak konflik muncul karena agama dipahami secara parsial dan terlepas dari nilai kemanusiaan.
“Kalau kita mau membuka diri dan menggali lebih dalam, nilai-nilai kemanusiaan dalam agama itu sangat dekat satu sama lain. Di situlah letak moderasi beragama. Moderasi bukan mengurangi iman, tetapi memperdalam pemahaman,” jelasnya.
Nasaruddin juga menekankan bahwa Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi cara berpikir kolektif dalam mengelola keberagaman. Tanpa kerangka itu, masyarakat mudah terjebak pada sikap eksklusif dan merasa paling benar.
“Perbedaan adalah keniscayaan sejarah. Tetapi persatuan adalah pilihan sadar yang harus terus diperjuangkan. Di situlah fungsi Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan beragama,” tuturnya.
Oleh karena itu, dia mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berani mengambil peran dalam merawat kebudayaan dan moderasi beragama. Pasalnya, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh keberanian mengambil langkah sejak sekarang.
“Kalau kita menunda terus, kita akan kehilangan arah kebudayaan kita sendiri. Tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan kepada satu generasi saja. Ini kerja bersama yang harus dimulai hari ini,” pungkasnya.










