Pendidikan Berkualitas: Janji SDGs yang Masih Tertinggal di Indonesia
SUDAH HAMPIR satu dekade sejak Indonesia berkomitmen pada Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015.
Dari 17 tujuan global tersebut, tujuan keempat atau SDG 4 menyoroti pentingnya pendidikan berkualitas. Secara resmi, SDG 4 bertujuan untuk “menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua”. Artinya, setiap anak tanpa terkecuali harus memperoleh pendidikan yang layak dan relevan sepanjang hidupnya.
Kesenjangan Akses dan Kualitas di Indonesia
Hak atas pendidikan sebenarnya telah dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. UUD 1945 Pasal 31 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjamin kesempatan belajar dengan kualitas yang merata bagi semua. Namun, realitas di lapangan masih jauh dari harapan.
Banyak daerah terpencil belum menikmati mutu pendidikan setara dengan kota besar. Ketimpangan ini disebabkan oleh tidak meratanya sarana dan prasarana, jarak sekolah yang sulit dijangkau, serta kurangnya guru berkualitas di wilayah terpencil. Akibatnya, anak-anak di daerah tertinggal kerap terhambat dalam mengakses ilmu pengetahuan dan peluang masa depan, padahal pendidikan berkualitas adalah hak dasar setiap warga negara.
Kurikulum Berganti, Mutu Tak Kunjung Naik
Selain faktor akses, inkonsistensi kebijakan pendidikan juga menjadi persoalan serius. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah berganti beberapa kurikulum besar — mulai dari Kurikulum 2006 (KTSP), Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat saat pandemi, hingga Kurikulum Merdeka yang diterapkan secara bertahap.
Sayangnya, perubahan kurikulum yang kerap terjadi setiap kali berganti menteri membuat guru dan sekolah kesulitan beradaptasi. Banyak daerah tertinggal tidak mampu mengikuti pembaruan kebijakan dengan cepat. Alih-alih meningkatkan mutu, pergantian yang terlalu sering justru menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian arah belajar. Padahal, sistem pendidikan yang baik seharusnya memberikan kepastian dan kesinambungan dalam proses pembelajaran.
Membandingkan Sistem Zonasi di Indonesia dan Jepang
Kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi salah satu upaya pemerintah untuk meratakan akses pendidikan. Namun, implementasinya di Indonesia masih menuai banyak perdebatan.
Sistem ini sebenarnya terinspirasi dari Jepang, negara dengan sistem pendidikan yang terkenal merata dan unggul. Di Jepang, zonasi hanya berlaku untuk jenjang SD dan SMP, sementara masuk SMA didasarkan pada prestasi. Meski demikian, pemerataan fasilitas dan kualitas guru di seluruh sekolah Jepang sudah sangat baik, sehingga sistem zonasi tidak menimbulkan kesenjangan mutu.
Hasilnya terlihat jelas: berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diselenggarakan oleh OECD, skor matematika siswa Jepang mencapai 536 (peringkat ke-5 dunia), sedangkan Indonesia hanya memperoleh skor 388 (peringkat ke-69).
Di Indonesia, zonasi belum diiringi pemerataan mutu pendidikan yang memadai. Banyak pihak menilai kebijakan ini belum mampu menghapus “sekolah favorit”. Anggota DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai, setelah tujuh tahun berjalan, zonasi masih menimbulkan masalah yang sama dari tahun ke tahun. Sementara itu, Ombudsman menilai sistem zonasi tetap penting untuk pemerataan, tetapi harus dibarengi dengan peningkatan fasilitas dan kualitas guru.
Hal ini menunjukkan bahwa zonasi tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa perbaikan kualitas pengajaran, sarana belajar, dan koordinasi antarlembaga, zonasi hanya akan menjadi kebijakan administratif tanpa dampak nyata terhadap mutu pendidikan.
Kualitas Pendidikan: Hak Setiap Anak
Pendidikan berkualitas adalah hak setiap anak Indonesia dan tanggung jawab utama negara. Setiap murid berhak memperoleh guru yang kompeten, buku ajar yang relevan, dan lingkungan belajar yang kondusif. Kegagalan meratakan mutu pendidikan bukan hanya berarti belum tercapainya SDG 4, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap jaminan hukum pendidikan di Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat harus memastikan setiap kebijakan — baik itu kurikulum baru, sistem zonasi, maupun program pelatihan guru — benar-benar berdampak pada peningkatan keadilan pendidikan, bukan sekadar mengganti nama ketimpangan yang sama.
Dengan komitmen bersama, peningkatan kompetensi guru, stabilitas kebijakan, dan pemerataan sarana pendidikan di seluruh wilayah, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita SDG 4: pendidikan berkualitas untuk semua warga negara tanpa terkecuali.
Penulis: Keisha Elmira Azizah – Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya










