Tegaskan KDRT Bukan Urusan Privat, Partai Perindo: Perlu Sistem dan Tata Kelola Terstruktur serta Berkelanjutan

Tegaskan KDRT Bukan Urusan Privat, Partai Perindo: Perlu Sistem dan Tata Kelola Terstruktur serta Berkelanjutan

Nasional | okezone | Selasa, 24 Juni 2025 - 11:04
share

JAKARTA - Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia kembali menjadi alarm keras bagi negara dan seluruh elemen masyarakat. Laporan terbaru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 11.850 kasus kekerasan sepanjang tahun 2025. Bahkan, 1 dari 4 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya, berdasarkan data resmi dari SIMFONI PPA, sebuah sistem pencatatan kekerasan real-time lintas provinsi dan kabupaten.

Namun bagi Ketua DPP Partai Perindo Bidang Pedesaan dan Potensi Kedaerahan, Firda Riwu Kore, angka-angka ini bukan sekadar statistik. “Setiap data itu adalah nyawa, adalah trauma yang menahun, adalah anak-anak yang tumbuh dalam ketakutan, dan perempuan yang kehilangan martabatnya dalam senyap,” ujar Firda dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Dia menegaskan bahwa KDRT bukanlah urusan domestik belaka. Menormalisasi kekerasan atas nama budaya, aib keluarga, atau relasi kuasa dalam rumah tangga adalah bentuk ketidakadilan struktural yang membunuh dalam diam. “Selama kita memaklumi kekerasan sebagai urusan privat, selama itu pula kita mengkhianati amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa termasuk para perempuan yang hari ini hidup dalam ketakutan di balik pintu rumahnya sendiri,” tegas Firda.

Menurut Sarjana Hukum dari Universitas Pelita Harapan ini, sistem pencatatan yang ada pun masih menyisakan celah besar. “Banyak kasus tidak tercatat karena korban enggan melapor takut, malu, atau karena tidak percaya bahwa negara bisa melindungi mereka. Di sinilah akar masalahnya: negara belum hadir secara utuh sebagai pelindung,” katanya.

Untuk itu, Firda mendorong adanya reformasi sistem pencatatan dan perlindungan korban yang bersifat lintas sektor terintegrasi antara layanan kesehatan, pendidikan, kepolisian, dan masyarakat sipil. Indonesia, katanya, butuh data yang kuat untuk membuat kebijakan yang efektif. Tanpa itu, semua intervensi hanya bersifat tambal sulam.

Lebih jauh, Firda mengajak publik untuk berhenti menyalahkan korban. “Budaya menyalahkan korban baik melalui komentar, pemberitaan media, maupun narasi institusional harus dihentikan. Kita tidak hanya melawan pelaku kekerasan, tapi juga sistem sosial yang memungkinkan kekerasan terus terjadi tanpa konsekuensi,” tegas tokoh muda berdarah NTT ini.

 

Partai Perindo, menurut Firda, berkomitmen menjadikan perlindungan perempuan dan anak sebagai bagian integral dari agenda pembangunan nasional, terutama di daerah pedesaan yang kerap menjadi titik buta perlindungan hukum dan sosial. “Jangan hanya bicara pertumbuhan ekonomi jika kita masih membiarkan perempuan-perempuan di desa menangis sendirian di dalam rumahnya,” ujarnya.

Firda juga menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan bangsa, bukan hanya perempuan. “Ini isu keadilan sosial. Ini persoalan sistemik yang membutuhkan keberanian politik dan kolektivitas masyarakat untuk berubah. Sudah saatnya laki-laki bicara. Sudah saatnya negara bersikap.”

Dia pun mengajak semua piha, mulaik negara, komunitas, media, dan warga untuk bergerak bersama membongkar budaya patriarki, membangun ruang aman, dan menjadikan keberpihakan pada korban sebagai komitmen kolektif. “Diam kita adalah luka mereka. Jangan tunggu data berikutnya untuk peduli. Saatnya bergerak, sekarang juga,” kata Firda.

Sistem Perlindungan Tingkat Lokal

Sejalan dengan komitmennya terhadap isu perlindungan perempuan dan anak, Partai yang dipimpin Angela Tanoesoedibjo ini menegaskan pentingnya penguatan sistem perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga di tingkat lokal. 

Menurut Partai Perindo yang dikenal dengan Partai Kita, penanganan KDRT tidak cukup hanya dengan regulasi nasional atau kampanye moral, tetapi membutuhkan tata kelola kebijakan yang kuat di level daerah—mulai dari ketersediaan layanan pendampingan, integrasi lintas sektor, hingga penganggaran yang responsif gender.

“Bagi kami, komitmen politik bukan sekadar menyampaikan keprihatinan. Ia harus terwujud dalam kebijakan yang bekerja di lapangan. Karena itu, kami memandang penting agar daerah, termasuk kader-kader Partai Perindo yang duduk di eksekutif maupun legislatif, turut memastikan bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan menjadi bagian dari prioritas pembangunan daerah,” ujar Firda Riwu Kore.

 

Dia menjelaskan pula bahwa dalam banyak kasus, efektivitas perlindungan korban justru ditentukan oleh hal-hal yang tampak teknis apakah petugas layanan di puskesmas paham prosedur penanganan korban, apakah ada mekanisme rujukan yang jelas ke shelter atau layanan hukum, serta apakah koordinasi antarsektor berjalan secara fungsional.

“Kadang kita terlalu fokus pada gagasan besar, tapi lupa bahwa satu petugas desa yang dilatih menangani korban dengan empati bisa lebih berdampak daripada banyak seminar. Karena itu, Partai Perindo mendorong penguatan kapasitas lokal sebagai bagian dari strategi perlindungan,” tambah Firda.

Firda menegaskan bahwa keberpihakan Partai Perindo dalam isu ini bersifat struktural dan bukan sekadar simbolik. “Kami ingin memastikan bahwa keberadaan kader partai di berbagai level pemerintahan benar-benar bisa memperkuat perlindungan korban. Bukan lewat jargon, tapi lewat keputusan anggaran, program nyata, dan keberlanjutan pelayanan,” ucapnya.


 

Topik Menarik