Serangan Acak yang Memakan Korban Jiwa Meningkat di China, Diduga Terkait Masalah Kesehatan Mental
JAKARTA - Pemerintah China baru-baru ini mengeksekusi mati dua orang pelaku pembunuhan acak, yang menewaskan puluhan, bahkan belasan korban. Langkah ini diambil di tengah meningkatnya kemarahan publik terkait kejahatan pembunuhan acak yang juga semakin banyak terjadi.
Kasus pembunuhan acak telah meningkat di China dalam beberapa tahun terakhir. Diduga hal ini berkaitan dengan berbagai isu mulai dari masalah kesehatan, kesulitan ekonomi, pengangguran, tekanan masyarakat, bahkan kurangnya kebebasan politik, yang dianggap sebagai faktor utama. Faktor-faktor ini dianggap sebagai tantangan mental di antara warga China pelaku pembunuhan acak yang mendorong mereka melakuakn serangan balas dendam atau aksi serupa.
Pada Januari 2025, China mengeksekusi dua orang atas keterlibatan mereka dalam serangan "balas dendam terhadap kejahatan masyarakat.”
Fan Weiqu, 62 tahun, diekskusi mati setelah menabrakkan mobilnya ke kerumunan di luar stadion olahraga di kota selatan Zhuhai pada November 2024, menewaskan setidaknya 35 orang. Sementara Xu Jianjin dijatuhi hukuman yang sama atas aksi penikaman di sekolah kejuruan di kota Wuxi, timur China yang menewaskan delapan orang dan melukai 17 korban lainnya.
Menurut psikoterapis Xiaojie Qin, tindakan keji kedua pelaku diyakini dipengaruhi oleh tekanan psikologis terkait situasi di China pasca pandemi Covid-19. Perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja memperburuk kesenjangan ekonomi, yang menimbulkan rasa ketidakadilan, mendorong kekerasan terhadap orang-orang yang tidak dikenal.
“Sejumlah orang yang tertinggal, baik secara sosial maupun ekonomi, lebih terpinggirkan dan dapat merasa bahwa mereka tidak diperlakukan dengan adil. Mereka tidak memiliki cukup kemampuan untuk meregulasi emosio, dan karenanya mengalami ledakan emosi yang terkadang disertai dengan kekerasan," kata Xiaojie, dikutip dari The Singapore Post, Rabu (19/2/2025).
Faktanya, kedua serangan tersebut hanya sebagian dari serangkaian kejahatan serupa yang terjadi pada 2024. Terdapat 20 serangan pembunuhan acak yang terjadi di China sepanjang 2024 yang menelan setidaknya 90 korban jiwa. Salah satu serangan tersebut adalah yang terjadi pada September saat seorang pria berusia 37 tahun menewaskan tiga orang dan melukai 15 lainnya di sebuah supermarket yang ramai di Shanghai.
Kegelapan dalam Masyarakat
Pada 2023, jumlah kematian adalah 16 ketika pelaku menyerang pejalan kaki atau orang asing. Pada Mei 2024, seorang pria menyerang siswi sekolah dasar dengan pisau di Guixi, provinsi Jiangxi, menewaskan dua orang. Media sosial dipenuhi dengan video serangan balas dendam terhadap orang asing oleh warga negara China.
Meski sulit bagi warga negara China untuk mempertanyakan keputusan dan kebijakan pemerintah Beijing, mereka mengungkapkan rasa frustrasi dan kemarahan di media sosial. "Orang-orang China sangat menderita," kata seorang pengguna media sosial.
Pengguna media sosial lainnya mengatakan: "Tragedi ini mencerminkan kegelapan dalam masyarakat." Para netizen lain juga bertanya apakah 'serangan balas dendam' di China merupakan gejala dari masalah sosial yang lebih dalam.
"Jika ada masalah kurangnya keamanan kerja dan tekanan besar untuk bertahan hidup, maka masyarakat pasti akan penuh dengan masalah, permusuhan, dan teror," tulis seorang pengguna WeChat.
Pemerintah China yang diperintah Partai Komunis China (PKC) menggunakan sensor dan tindakan keras yang ketat daripada mengatasi masalah mendasar yang memicu serangan balas dendam terhadap masyarakat, kata Peidong Sun, Associate Professor di Universitas Cornell.
"Serangan publik sering kali merupakan reaksi terhadap penindasan; ironisnya, pemerintah umumnya menanggapinya dengan penindasan yang lebih keras. Jika (pemerintah) berpegang teguh pada gaya pemerintahan yang tersentralisasi dan otoriter, keretakan masyarakat pasti akan semakin parah,” kata Peidong.
“Kontrol pemerintah yang ketat hanya memperburuk masalah yang hanya akan memperburuk frustrasi dan kekerasan,” tambahnya.
Peningkatan Pengawasan
Analis kebijakan Irene Chou mengatakan tanggapan pemerintah memperburuk masalah karena orang-orang tidak dapat membahas insiden brutal tersebut atau memeriksa pemicu stres masyarakat yang mendasari yang memotivasi para pelaku.
Kabar Baik! Erick Thohir Update Proses Naturalisasi Emil Audero, Dean James dan Joey Pelupessy
“Tanggapan krisis resmi terhadap pembunuhan ini menghadirkan pola penyensoran suram – menghapus diskusi daring dan menunda laporan berita, menghapus kesedihan dan trauma, dan mengintensifkan pengawasan terhadap kemungkinan pembangkang. Mekanisme penindasan ini, dengan sendirinya, mengungkap kelemahan struktural dalam sistem politik China,” tutur Chou.
Meski angka kejahatan di China relatif lebih rendah dibanding rata-rata global, pelaporan yang kurang dan minimnya transparansi membuat datanya diragukan dan dipertanyakan. Para pengamat mengatakan kelalaian Beijing terhadap masalah kesehatan mental dan keterasingan sosial masyarakat dapat menyebabkan krisis yang lebih besar.
"Tanpa reformasi sistemik untuk menangani masalah-masalah ini, Tiongkok berisiko mendorong siklus frustrasi dan keresahan yang dapat semakin meletus menjadi kekerasan dan bahkan mengancam stabilitas jangka panjang negara tersebut," sebut Peidong.
Drew Thompson, seorang peneliti senior di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam yang berbasis di Singapura mengatakan, "Hal itu dapat memperburuk ketakutan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah di China, terutama jika insiden kekerasan berskala besar yang tampaknya acak terus berlanjut seperti yang terjadi tahun ini.”
Chou mengatakan, Pemerintah China telah meningkatkan pengawasan ketimbang transparansi dan membuka saluran komunikasi. "Hal ini kemungkinan akan melanjutkan siklus penindasan, perlawanan, dan kekerasan pembalasan, yang memperpanjang era ketidakstabilan dalam negeri," pungkasnya.