Curhat Hakim Ad Hoc: Gaji Tidak Naik dan Dipotong Pajak, Beda dengan Hakim Karier
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia akan melaksanakan Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung pada 19 Februari 2025. Kegiatan tersebut berlangsung 4 bulan setelah Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2024 disahkan diakhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Seorang hakim ad hoc tipikor dari Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Jawa Barat, Lufsiana Abdullah Aman mengatakan, melalui PP tersebut, para hakim di Indonesia menerima kenaikan penghasilan, walaupun oleh sejumlah pihak jumlah kenaikannya dinilai belum memadai, tapi setidaknya mampu meningkatkan kesejahteraan hakim.
"Namun, ada hakim yang dilupakan yang tidak turut menerima kenaikan kesejahteraan ini, yakni hakim adhoc. PP nomor 44 tahun 2024 hanya berlaku untuk hakim karir, sedangkan hakim adhoc, yang hak keuangannya diatur dalam Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2013, tidak ikut diubah," ujarnya dalam keterangan yang diterima, Senin (17/2/2025).
Perpres itu, sambungya, pernah mengalami perubahan pada tahun 2023 untuk mengakomodasi Hakim Adhoc Hak Asasi Manusia, namun bagi hakim adhoc yang lain (hakim adhoc Tindak Pidana Korupsi, Hakim adhoc Hubungan Industrial dan hakim adhoc Perikanan) tidak ada kenaikan penghasilan sejak tahun 2013.
Gaji Dipotong Pajak
Selain tidak adanya kenaikan penghasilan, dirinya mengatakan, para hakim adhoc juga dihadapkan pada kewajiban penghasilan yang dipotong pajak.
"Hal demikian berbeda dengan hakim karir yang gaji dan tunjangannya tidak dipotong pajak. Sebagai contoh, hakim adhoc Hubungan Industrial pada tingkat pertama yang berdasarkan Perpres nomor 5 tahun 2013 mendapat uang kehormatan sejumlah Rp17.500.000, pada kenyataannya setelah dipotong pajak menerima kurang lebih Rp15.000.000," tuturnya.
Lusfiana Abdullah menjelaskan, akibat dari 'dilupakannya' hakim adhoc dan adanya pemotongan pajak, saat ini, dalam satu majelis, hakim karier yang mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi misalnya, menerima penghasilan kurang lebih Rp37.000.000, sedangkan hakim adhoc Tindak Pidana Korupsi menerima penghasilan kurang lebih Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah): ketimpangan yang seharusnya tidak terjadi jika negara tidak “melupakan” hakim adhoc.
"Hakim karier dan hakim adhoc pada hakekatnya adalah sama: sama-sama hakim dan menjalankan tugas yang diberikan Undang-Undang. Keduanya menjalan tugas dan kewajiban yang sama: memeriksa dan memutus perkara, terikat dengan kode etik dan tata kerja yang sama (jam kerja, pakaian dinas, mekanisme cuti dan lain sebagainya), namun keduanya menerima penghasilan yang berbeda," ujar Lusfiana Abdullah.
Belum Dapat Perhatian
Diketahui, dalam banyak kesempatan, Presiden Prabowo Subiato menyampaikan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim. Presiden juga berkali-kali menegaskan akan memberantas korupsi, mensejahterakan buruh sekaligus menghadirkan kepastian bagi pengusaha serta menjaga kedaulatan perikanan.
"Namun sayangnya, para hakim adhoc yang bertugas dalam bidang-bidang tersebut, belum mendapat perhatian yang memadai. Hakim adhoc Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama yang memeriksa dan mengadili perkara Tipikor dengan kerugian keuangan negara ratusan milyar dan bahkan puluhan hingga ratusan triliun, setiap bulannya “hanya” menerima penghasilan satu-satunya kurang lebih Rp18.000.000," ujarnya.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa saat ini sedang dilakukan pembahasan antara Mahkamah Agung dengan pemerintah untuk melakukan perubahan Perpres nomor 5 tahun 2013. Namun sampai dimana dan kapan selesainya pembahasan tersebut, sampai saat ini tidak ada informasi yang pasti.
Dalam situasi tersebut, harapannya, Presiden menjalankan kepemimpinan dan menegaskan sikap serta langkah yang efektif untuk memastikan bahwa ikhtiarnya memberantas korupsi, mensejahterakan buruh sekaligus menghadirkan kepastian bagi pengusaha serta menjaga kedaulatan perikanan akan benar-benar dijalankan bersama dengan pemenuhan janjinya untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, termasuk hakim adhoc yang saat ini terlupakan.
"Semoga momentum Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Februari 2025 mampu memberikan harapan baik membaiknya negara hukum yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia, terjaganya peradilan yang agung serta meningkatnya kesejahteraan aparatur pengadilan tanpa terkecuali (Hakim, Kesekretariatan dan Kepaniteraan serta aparatur pengadilan lainnya), termasuk (tentu saja) hakim adhoc di dalamnya," ujarnya.