Cegah Kekacauan Hukum, RUU KUHAP Dinilai Perlu Dirumuskan dengan Bijak
JAKARTA – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem peradilan di Indonesia jika tidak dirumuskan dengan bijak. Untuk itu, partisipasi publik dalam perumusannya menjadi hal yang penting.
“Perumusan RUU KUHAP yang baru harus melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas. Selain itu, kajian mendalam terhadap kelemahan KUHAP lama harus menjadi bahan evaluasi agar undang-undang yang baru tidak justru menimbulkan permasalahan baru,” kata Guru Besar UIN KHAS Jember, M Noor Harisudin.
Hal tersebut diungkapkan saat diskusi Studio IJTI Jalan Dewi Sartika, Kaliwates, pada Kamis 6 Februari 2025.
Penghapusan tahap penyelidikan dalam proses hukum menjadi salah satu poin yang krusial, karena bisa mengancam prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, dalam proses itu yang menentukan sebuah perkara layak naik ke tahap penyidikan.
“Proses penyelidikan adalah tahap awal yang sangat penting dalam memastikan apakah suatu perkara layak naik ke tahap penyidikan. Tidak semua kasus langsung bisa dianggap sebagai tindak pidana. Jika penyelidikan dihilangkan, dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi yang berlebihan,” katanya.
Ketimpangan aparat penegak hukum (APH) dalam RUU KUHAP yang baru juga perlu menjadi perhatian. Sebab, antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan memerlukan adanya keseimbangan dalam kewenangan agar tidak terjadi dominasi.
“Jika ada ketimpangan dalam tugas dan kewenangan APH, maka hal ini bisa berdampak buruk bagi sistem peradilan kita. RUU KUHAP seharusnya mampu menciptakan sinergi peran yang lebih baik antar aparat penegak hukum,” katanya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Ahmad Suryono mengungkapkan, pentingnya reformasi hukum yang lebih holistik, bukan sekadar revisi parsial. Selain itu, revisi KUHAP harus mempertimbangkan aspek efektivitas dalam praktik di lapangan.
“RUU KUHAP ini harus mencerminkan keadilan substantif dan tidak hanya menjadi produk hukum yang setengah matang,” ujarnya.
Diskusi yang juga dihadiri Lutfian Ubaidillah selaku Pengurus DPC Peradi Jember menjadi forum bagi akademisi dan praktisi hukum dalam memberikan masukan terkait kebijakan hukum acara pidana. Sehingga bisa menjadi aspirasi yang diserap oleh pemerintah maupun DPR.