Pelaksana Kedaulatan Rakyat, Peran MPR Perlu Diperkuat
JAKARTA – Akademisi Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi, menyatakan, perubahan pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 telah mengubah posisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Implikasi dari perubahan tersebut sangat nyata dirasakan masyarakat.
"Rakyat sudah merasakan implikasi dari perubahan tersebut, terutama tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan," ujarnya dalam seminar bertema Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat yang diselenggarakan Yayasan Caritas Merah Putih, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Ketidakterkendaliannya keputusan politik negara, menurut Rullyandi, tampak dari kebijakan yang seharusnya berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum, namun belakangan lebih menekankan pada asas permusyawaratan.
"Realitasnya justru lebih mengarah pada praktek demokrasi yang liberal dan pragmatisme politik, praktek-praktek yang sejatinya tidak sejalan dengan gagasan para pendiri negara," katanya.
Sementara Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjajaran Bandung, I Gde Pantja Astawa, menegaskan, bahwa tidak adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) membuat penyelenggaraan pemerintahan negara tidak memiliki arah, tujuan, dan maksud yang jelas. GBHN yang ditetapkan MPR RI sejatinya bisa menjadi pedoman dan arah bagi presiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
"Ketiadaan atau dihapuskannya (amandemen) wewenang MPR menetapkan GBHN menyebabkan Negara ini tidak memiliki cetak biru di dalam membangun Negara sehingga arah dan tujuan Negara pun tidak jelas. Mau dibawa kemana Negara ini?" ujar Gde.
Gde juga menyoroti beberapa pasal dalam UUD 1945 yang telah diamandemen oleh MPR RI, seperti Pasal 1 Ayat (1), Pasal 2 Ayat (1), dan Pasal 6 Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa salah satu pilar utama negara Indonesia adalah kedaulatan rakyat. Sehingga, secara harfiah, kata Gde, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Pada Pasal 2 Ayat (1), disebutkan bahwa "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan sesuai dengan aturan masing-masing." Pasal ini mengatur susunan MPR yang mencerminkan perpaduan antara representasi politik yang diwakili oleh DPR dan representasi fungsional yang diwakili oleh Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Oleh karena itu, susunan keanggotaan MPR ini seharusnya menjadi cerminan dari suara rakyat.
"Utusan Daerah jauh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN, daripada kedudukan dan kewenangan yang dimiliki DPD sekarang yang nyaris tidak jelas kinerjanya," tuturnya.
Sementara Pasal 6 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ‘Presiden adalah orang Indonesia asli,’ menurut Gde, ketentuan tersebut mengandung prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan. Kendati setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai Presiden, tidak semua warga negara memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan tersebut, terutama jika mereka bukan orang Indonesia asli.
Praktisi hukum Agus Widjajanto menyayangkan bahwa elit politik tidak memahami dengan baik sejarah pembentukan desain negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen yang dilakukan telah mengubah sistem ketatanegaraan negara secara signifikan. Padahal, sistem perwakilan dan musyawarah adalah manifestasi dari suara rakyat melalui majelis yang bernama MPR.
Agus juga mengungkapkan kebingungannya tentang bagaimana mungkin UUD 1945 diubah empat kali, yang merupakan dasar negara yang sangat monumental dan merupakan mahakarya para pendiri bangsa. "Perubahan itu secara nyata telah menimbulkan permasalahan demi permasalahan yang berakibat bangsa ini hanya berkutat pada konflik politik tiada henti," pungkasnya.