Apa yang Diinginkan Rusia dari Eskalasi Israel-Iran? Kekacauan Tapi Bukan Perang
IRAN – Konflik Israel-Iran akhirnya pecah setelah kedua negara itu saling berbalas serangan mematikan. Beberapa mata tertuju pada Rusia yang ikut aktif bersuara di konflik Timur Tengah tersebut. Apa sebetulnya yang ingin dicapai Rusia?
Bagi Rusia, negaranya, perang yang meluas antara Israel dan negara-negara tetangganya juga sulit di tingkat strategis. Kebijakan luar negeri Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin telah berputar di sekitar "dunia multipolar," sebuah alternatif bagi tatanan dunia yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
Dengan meningkatnya prospek konfrontasi langsung antara Israel dan Iran, dan perang yang juga meluas secara meyakinkan ke Lebanon, apa arti krisis terbaru ini bagi kepentingan Rusia sebagai kekuatan global?
"Eskalasi konflik Arab-Israel yang sedang berlangsung menjadi perhatian serius bagi Rusia," terang Alexey Malinin, pendiri Pusat Interaksi dan Kerja Sama Internasional dan anggota lembaga pemikir Digoria Expert Club, kepada Al Jazeera. Dia mencatat seruan Rusia yang berulang kali untuk solusi diplomatik.
"Namun, upaya ini terus-menerus menghadapi pertentangan, yang diungkapkan dalam keinginan Amerika Serikat untuk mendukung Israel dalam hampir semua situasi, terutama dalam hal militer. Dan dukungan ini, yang kemudian digunakan untuk mengubah Lebanon menjadi medan perang, membatalkan semua pernyataan tentang keinginan AS untuk memastikan perdamaian di wilayah ini,” lanjutnya.
Berbeda dengan dukungan kuat AS dan sekutunya terhadap Israel, Kementerian Luar Negeri Rusia telah mengutuk masuknya pasukan Israel ke Lebanon, mendesak Israel untuk menarik tentaranya. Sebelumnya, Rusia juga mengutuk pembunuhan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, dengan mengatakan Israel bertanggung jawab penuh atas eskalasi berikutnya.
Namun, seiring meluasnya konflik, terutama ke Iran, tujuan Rusia tidak hanya didasarkan pada prinsip-prinsip kebijakan luar negeri yang lebih besar.
Seperti diketahui, Rusia telah menerima bantuan Iran yang signifikan untuk invasinya sendiri ke Ukraina, yang mengaitkannya dengan kepentingan Teheran di kawasan tersebut.
"Rusia telah bekerja sama erat dengan Iran selama dua setengah tahun terakhir, tetapi secara eksklusif di bidang militer," kata Ruslan Suleymanov, seorang spesialis independen Rusia di Timur Tengah yang berbasis di Baku, Azerbaijan.
"Senjata Iran sangat diminati. Permintaannya tidak pernah sebesar ini, dan Rusia menjadi tergantung pada senjata Iran." Suleymanov mengatakan, instruktur militer Iran kini mengunjungi Rusia dan membantu membangun pabrik untuk produksi pesawat nirawak Shahed di Rusia,” lanjutnya.
"Akibatnya, Rusia terpaksa mendukung sekutu Iran di Timur Tengah seperti gerakan Hizbullah," tambahnya.
Sementara Malinin menyalahkan Washington karena menggagalkan upaya perdamaian, menurut Suleymanov, kebijakan Moskow di kawasan tersebut merupakan akibat langsung dari jatuh ke orbit Iran.
Namun, Malinin dan Suleymanov sepakat bahwa Rusia tidak menginginkan perang lagi.
"Moskow tidak tertarik pada badai api besar," kata Suleymanov.
"Kami melihat ini pada bulan April. Ketika tampaknya Iran dan Israel sudah memasuki perang besar, Rusia tidak dengan tegas memihak Iran. Rusia mendesak Iran dan Israel untuk menahan diri,” katanya.
Dia merujuk pada ketegangan yang meledak setelah Israel menyerang konsulat Iran di Damaskus pada bulan April, menewaskan komandan militer senior Iran, dan Iran menanggapi dengan menembakkan rudal ke Israel untuk pertama kalinya.
Pada saat yang sama, Suleymanov menambahkan bahwa Rusia mendapat keuntungan dari kekacauan di Timur Tengah.
“Amerika sekarang teralihkan dari perang di Ukraina: Mereka perlu menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan situasi di Timur Tengah,” ujarnya.
“Tetapi pada saat yang sama, Kremlin tidak ingin melihat perang besar [lainnya],” tegasnya.
Rusia dan Iran memiliki permusuhan yang sama dengan AS. Mereka juga memiliki sekutu yang sama, yaitu Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang melakukan intervensi selama perang saudara di negaranya. Pesawat tempur Rusia mengebom kota-kota yang dikuasai pemberontak, sementara Hizbullah bertempur dengan ganas di darat. Rusia memiliki kepentingan strategis di Suriah, termasuk pangkalan militer serta cadangan minyak dan gas.
Untuk meredakan ketegangan dengan Israel, Moskow telah menggunakan pengaruhnya terhadap Teheran untuk membujuk Hizbullah agar mundur dari perbatasan Suriah-Israel.
Anna Levina, seorang peneliti dan fotografer-dokumenter Rusia yang tinggal di Beirut, telah menimbun persediaan untuk persiapan serangan Israel ke Lebanon, dan dia masih menyimpan barang-barang yang tidak mudah rusak di dapurnya sejak Oktober lalu, ketika Hizbullah dan Israel mulai saling menembakkan rudal.
“Perasaan itu, tentu saja, tidak mengenakkan, tetapi saya telah menunggu momen ini selama setahun,” kata Levina, tentang eskalasi dramatis dalam serangan rudal Israel di banyak bagian Lebanon, termasuk Beirut, selama dua minggu terakhir, yang menewaskan lebih dari 2.000 orang.
Pada Selasa (1/10/20240, Israel juga mengumumkan dimulainya operasi darat di Lebanon selatan, tempat pasukannya sejak itu terkunci dalam pertempuran dengan para pejuang Hizbullah.
Levina berbicara tentang bagaimana Israel mengebom bangunan tempat tinggal, dan baru saja terjadi serangan udara lain tiga kilometer dari saya di beberapa pusat medis.
“Sulit untuk mengatasi hal ini pada tingkat manusia,” katanya.
Levina, peneliti Rusia yang berbasis di Beirut, mengatakan bahwa ada pandangan di antara para pengamat bahwa telah ada kesepahaman diam-diam antara Israel dan Rusia, mengenai Suriah. Ia mengutip keengganan Israel untuk memasok perangkat keras militer ke Ukraina dalam perangnya melawan Rusia, dan mengatakan bahwa ketika Israel menyerang posisi Hizbullah di Suriah selatan, tempat pasukan Moskow berada, Rusia tidak melakukan apa pun.